TEMPO.CO, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak jumlah bea keluar (BK) sebesar 20-60 persen untuk ekspor tambang olahan dari tahun 2014 hingga 2017. "Ini sangat memberatkan, merugikan, dan irasional," kata Ketua Satuan Tugas Hilirisasi Mineral Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Didie W. Soewondho, kepada wartawan, Rabu, 5 Februari 2014.
Didie meminta pemerintah meninjau kembali jumlah bea keluar dengan lebih memperhatikan struktur biaya dan profit margin perusahaan tambang. "Kalau profit perusahaan tambang hanya 15 persen, masak bea keluarnya 40 persen?" ujarnya.
Selain itu, ia juga meminta pemerintah secara komprehensif menganalisis beban pajak dan nonpajak yang masih tumpang-tindih, masih adanya beban ekonomi yang tinggi, serta pungutan liar dan korupsi. Menurut Didie, bea keluar yang ideal saat ini adalah di bawah 10 persen. "Ya, kita maunya satu digitlah," ujarnya.
Didie menambahkan selama masa relaksasi hingga 2017 itulah pemerintah justru seharusnya memberi keringanan agar pengusaha dapat menyisihkan keuntungannya untuk membangun smelter. Bila itu tidak diterapkan, Didie khawatir akan muncul masalah-masalah baru. Di antaranya, pemutusan hubungan kerja dalam sektor tambang, berkurangnya penerimaan negara dan daerah, serta penurunan kegiatan industri pendukung di sekitar lokasi penambangan, termasuk transportasi, hotel, dan restoran.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan dan Logistik yang juga Ketua Asosiasi Tambang Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur, menyatakan potensi total kerugian akibat beratnya bea keluar mineral ini mencapai Rp 45 triliun. "Itu kalau dihitung dampak sistemisnya, termasuk kredit macet dan leasing-nya," katanya.
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
11 Januari 2023
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
Nilai ekspor Indonesia pada 2022 tumbuh 29,4 persen dengan nilai US$ 268 miliar atau sekitar Rp 4.144 triliun. Beberapa komoditas seperti besi baja, bahan bakar fosil, dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) berkontribusi dalam peningkatan tersebut.