Aksi demonstrasi pada peristiwa Malari berujung pada sejumlah pengrusakan. Foto: Dok.Tempo/Syahrir Wahab
TEMPO.CO, Sidney - Kebijakan larangan eskpor mineral diperkirakan akan membuat Australia untung. Sebab salah satu negara produsen terbesar mineral mentah itu akan meraih manfaat positif dari naiknya harga komoditas tambang mentah.
Kantor berita The Australian, 13 Januari 2014 melansir harga nikel di pasar naik 3,14 persen pada Jumat pekan lalu. Kenaikan itu seiring diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah oleh Indonesia. Analis dari perbankan asal Prancis, BNP Paribas menyebutkan larangan ekspor mineral Indonesia itu berarti tak seorangpun tahu apakah ada pengecualian atau tidak. Sekarang ada ketidakpastian soal detail dan implementasinya. (Baca juga : Ekspor Konsentrat Mineral Dikenai Pajak Progresif)
Roger Bade dari bank investasi asal London, Whitman Howard menyatakan larangan ekspor mineral juga berlaku bagi komoditas timah. Dia menyatakan perusahaan nikel dan tembaga asal Indonesia dibayangi masa depan politis—dikabarkan sebuah perusahaan nikel besar akan merumahkan 1.400 pekerjanya.
Satu pertanyaan besar adalah bauksit. Cina memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasokan bauksit dari Indonesia. Namun negara itu sudah mulai mencari pasokan lain selain dari Indonesia. (Baca juga : PLN Fasilitasi Pengusaha Tambang Bangun Smelter)
Tak diragukan lagi, kondisi itu membuat pemasok bauksit Australia meraih untung. Salah satunya adalah Australian Bauxite (ABZ). Sejak sembilan bulan lalu, ABZ meneken perjanjian pasokan dengan Xinfa Group, sebuah perusahaan aluminium yang memiliki smelter tersebar di empat provinsi di Cina. Dua mitra bisnis itu sepakat untuk memantau perkembangan di Indonesia.
Jika Indonesia ternyata menunda pelaksanaan larangan ekspor mineral, maka ABZ akan kehilangan kesempatan mereka untuk mengambil alih pasar bauksit yang sebelumnya dipasok oleh pengusaha asal Indonesia.