Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Lambock V Nahattands menunjukkan foto pesawat kepresidenan Boeing 737-800 Business Jet 2 yang masih berbentuk "Green Aircraft" saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (9/2). ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo menyayangkan pemilihan pesawat Boeing-737 sebagai pesawat Kepresidenan Indonesia. Sebab, pesawat ini hanya mampu mendarat di bandara di kota-kota besar sehingga kurang efisien untuk tugas Presiden RI yang harus mengunjungi berbagai daerah di seluruh Indonesia.
"Boeing-737 boleh saja kita beli, tapi lebih baik jika CN 235 yang jadi pesawat Kepresidenan," ujar Dudy Sudibyo ketika dihubungi, Jumat, 13 Desember 2013. Ia mengatakan CN 235 dinilai lebih dapat menjangkau berbagai wilayah di Indonesia ketimbang pesawat jenis Boeing-737.
Dudi mengatakan, pesawat CN 235 yang notabene buatan Indonesia sendiri itu justru sudah digunakan sebagai pesawat VVIP di Brunei Darussalam dan Malaysia sebagai pesawat Kepresidenan.
Ia mengatakan kepemilikan pesawat Kepresidenan seharusnya dilihat dari nilai gunanya. Pesawat Kepresidenan seharusnya dapat menjangkau berbagai wilayah di Indonesia sehingga memudahkan aktivitas kunjungan Presiden maupun Wakil Presiden Indonesia ke masyarakatnya sendiri, bukan hanya untuk memudahkan kunjungan ke luar negeri.
Kunjungan ke luar negeri pun seharusnya masih dapat memanfaatkan penerbangan Garuda Indonesia sebagai operator dan penyedia jasa layanan. Dengan tetap menggunakan penerbangan Garuda, segi pembiayaan, perawatan dan pemeliharaan akan jauh lebih hemat. (Baca:Pesawat Kepresidenan Dianggarkan Sejak Lama)