BPK Koreksi Subsidi Rp 15,44 Triliun di 2009-2012
Editor
Abdul Malik
Selasa, 1 Oktober 2013 13:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai koreksi perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kewajiban subsidi/ PSO (public service obligation/kewajiban pelayanan umum) pemerintah terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Berturut-turut nilai koreksi mencapai Rp 2,41 triliun (2009), Rp 1,43 triliun (2010), Rp 2,57 triliun (2011), dan Rp 9,03 triliun (2012).
"Hal ini menunjukkan bahwa BPK telah membantu pemerintah menghemat pengeluaran subsidi dari 2009-2012 sebesar Rp 15,44 triliun," kata Ketua BPK, Hadi Poernomo saat menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK Semester I dalam Rapat Paripurna di DPR, Selasa, 1 Oktober 2013.
Koreksi tersebut terkait subsidi energi, pupuk, beras, dan PSO. Koreksi dilakukan terhadap unsur-unsur biaya yang tidak dapat dibebankan menurut ketentuan perundang-undangan serta besaran volume dan nilai subsidi.
Terkait pemeriksaan untuk tahun anggaran 2012, Hadi menjelaskan, BPK telah melakukan pemeriksaan subsidi/PSO pada 10 entitas di lingkungan BUMN terkait subsidi energi, pupuk, beras dan PSO. BPK mengoreksi perhitungan subsidi senilai Rp 9,03 triliun.
Koreksi tersebut membuat total subsidi/PSO yang harus dibayar pemerintah turun dari Rp 378,32 triliun menjadi 369,29 triliun. "Pemerintah telah membayar Rp 331,26 triliun sehingga pemerintah masih punya kewajiban membayar subsidi senilai Rp 38,03 triliun," katanya.
Anggota BPK, Ali Masykur Musa, menjabarkan koreksi di 9 BUMN, koreksi terbesar terjadi di PT PLN yakni Rp 6,77 triliun, disusul PT Pertamina sebesar Rp 999,38 miliar, PT Pupuk Sriwidjaja sebesar Rp 270,95 miliar, PT Pupuk Kaltim Rp 51,67 miliar, PT Pupuk Kujang Rp 25,33 miliar, PT Petrokimia Gresik Rp 134,12 miliar, PT Pupuk Iskandar Muda Rp 16,37 miliar, Bulog Rp 707,66 miliar, dan PT Pelni Rp 48,05 miliar.
"Jadi dari 9 perusahaan BUMN yang diberi tugas menyalurkan itu, bahasa saya itu, ada kebiasaan untuk memainkan nilai PSO dan itu merugikan keuangan negara," kata Ali.
Koreksi tersebut, kata Ali harus dikembalikan kepada negara, tidak boleh masuk kas perusahaan. "Karena ini subsidi menjadi bagian dari yang ditetapkan dan dianggarkan melalui APBN, jadi ini bukan milik BUMN," katanya.
Ali mencontohkan, bentuk koreksi di BUMN-BUMN yang pemeriksaannya di bawah tanggung jawabnya. Di Pertamina, kata Ali, koreksi di antaranya terkait BBM subsidi yang salah sasaran. "Ada penimbunan (BBM bersubsidi) untuk kepentingan yang nonsubsidi," kata dia. Sementara itu, di Bulog koreksi terkait bea masuk dan volume impor. "Di Bulog wujudnya bea masuk yang tidak dibayarkan Bulog atas impor. Ini menggangu tata niaga beras di Indonesia, sudah impor tidak ada bea masuk. Kedua volume yang diimpor lebih dari yang ditetapkan," katanya.
MARTHA THERTINA
Berita Terpopuler
Soal Lari Maraton Agus Yudhoyono Ramai di Twitter
Delay, Penumpang Lion Air Terkunci Dalam Pesawat
Ini Sebab Agus Yudhoyono Telat Lari Maraton
Ini Alasan Lain Direktur Utama TVRI Dipecat
Jokowi Ingin MotoGP Digelar di Jakarta