TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengajukan konsep perampasan aset tanpa tuntutan pidana (illicit enrichment). Konsep itu dia tuangkan dalam Rancangan Undang Undang Perampasan Aset yang naskahnya sudah diusulkan PPATK ke Kementerian Hukum dan HAM.
"Sudah dikirimkan kepada Presiden Yudhoyono dan akan dibahas DPR. Harapan saya segera," kata Yusuf, usai peluncuran bukunya yang membahas RUU Perampasan Aset itu, Selasa 16 April 2013.
Menurut Yusuf, dalam RUU tersebut bukan hanya diatur soal perampasan harta kekayaan hasil kejahatan, tetapi juga harta kekayaan tak wajar. " Ini jadi semacam rem, kalau ada di luar kewajaran, yang dituduh harus jelaskan dari mana?" ujarnya.
Ia menjelaskan, perampasan aset tanpa melalui jalur pidana memotong jalur perampasan aset setelah keputusan pengadilan yang umumnya butuh proses panjang. Sekarang, aset seseorang baru bisa disita setelah ada pembuktian terdakwa terlibat tindak pidana korupsi. "Masalahnya, di sistem hukum kita, begitu diputus, ada banding, kemudian banding lagi, dan seterusnya," katanya.
Menanggapi usulan ini, Deputi Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa menjelaskan prinsip yang digunakan dalam pemeriksaan dugaan illicit enrichment adalah logika deduktif.
"Yang diperiksa adalah `asapnya` yaitu kekayaan yang tidak wajar, bukan `apinya` yaitu tindak pidana yang memungkinkan adanya kekayaan yang tidak wajar," ujar Mas Achmad.
Konsep kunci illicit enrichment, kata Mas Achmad, adalah penerapan metode pembuktian terbalik serta standar pembuktian yang lebih rendah. Penerapan illicit enrichment ini diharapkan bisa mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Meski mendukung konsep ini, Mas Achmad mengkritisi beberapa poin dalam draft RUU Perampasan Aset. Pertama, ia menyarankan agar objek pengaturan dibatasi pada pejabat negara. Tujuan utamanya adalah pemberantasan korupsi.