Bank Sisasati Penyaluran 20 Persen Kredit ke UMKM
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 6 Desember 2012 19:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan perbankan berupaya menyesuaikan diri dengan aturan Bank Indonesia soal kewajiban bank menyalurkan 20 persen kreditnya ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini terjadi khususnya pada bank-bank yang tak fokus membiayai sektor UMKM tersebut.
Head of Global Markets HSBC Indonesia, Ali Setiawan menjelaskan, kredit bank-nya untuk sektor UMKM memang tak besar. "Core business kami lebih ke wholesale banking," ujarnya kemarin. Sebagai bank asing, pihaknya juga belum memiliki jangkauan hingga ke daerah-daerah sebagaimana bank lokal.
Meski begitu, ia meyakinkan, bank-nya akan ikut aturan BI. "Jadi kemungkinan exposures ke SMEs secara indirect," ucap Ali.
Presiden Direktur OCBC NISP, Parwati Surjaudaja menilai spirit aturan ini positif bagi industri dan ekonomi. Meski begitu, ia belum bisa memastikan langkah strategis bank-nya ke depan. "Peraturan detailnya masih harus kami lihat dulu," ujarnya.
Parwati menilai tak perlu ada dorongan khusus dari Pemerintah untuk mendukung aturan BI ini, misalnya melalui asuransi. Menurut dia, hampir semua bank memang tengah mengarah pangsa kredit UMKM. Bahkan, persaingannya juga makin ketat. "Saya lebih percaya ke kekuatan pasar dan alami, sehingga bisa sustainable," ucapnya.
Adapun Ketua Perhimpunan Bank-Bank Negara (Himbara) sekaligus Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk. menilai ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan aturan tersebut. Pertama, kejelasan definisi Usaha Kecil, Mikro dan Menengah. Kedua, fokus bisnis bank yang berlainan.
Setiap bank ada designed dasarnya masing-masing, seperti BNI by designed adalah Corporate and Commercial banking, artinya expertise-nya pembiayaan kepada sektor industri. BNI tidak didesain untuk micro financing. Ada lagi yang didesain sebagai transactional banking, contohnya BCA. Sedangkan BRI didesain sebagai micro banking.
Bank Indonesia sebenarnya memahami ketetapan 20 persen kredit untuk UMKM ini tidak mudah untuk dicapai bank dengan fokus bisnis yang berbeda, lebih khusus lagi bank asing dan bank campuran yang beroperasi di Indonesia.
BI pun memberikan alternatif lain tapi memang hanya untuk bank asing dan campuran. Kredit UMKM bisa disubstitusi dengan kredit ekspor. Tujuannya untuk mendorong perbaikan pada transaksi perdagangan Indonesia yang defisit.
Aturan minimal 20 persen kredit untuk UMKM ini akan diterapkan secara bertahap. Masa penyesuaiannya selama enam tahun sampai 2018. Dalam dua tahun pertama, BI masih memberi kebebasan industri untuk menetapkan targetnya. Di tahun ketiga, perbankan harus mencapai minimal 5 persen pembiayaan UMKM, tahun keempat 10 persen, tahun kelima 15 persen, dan tahun keenam 20 persen.
Besaran ini tidak berlaku bagi bank yang telah fokus pada pembiayaan kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat. Namun, untuk memperbesar porsi kredit UMKM-nya, perbankan bisa menggunakan mekanisme linkage maupun channeling.
Kepala Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan punya fokus perhatian berbeda tentang aturan ini. Ia justru mempertanyakan kemampuan UMKM menyerap kredit ini. Ia juga mempertanyakan soal risiko kreditnya.
"Wacana otoritas perbankan itu soal prudential, konsolidasi, good corporate governance. Mereka (UMKM) banyak yang tak punya laporan keuangan. Kalau NPL (Non Performing Loan) naik bagaimana? Gagal bayar bagaimana?" ucapnya. Jika masalah gagal bayar kredit bisa diselesaikan secara hukum, bank akan lebih percaya diri. Namun, ia juga menyoroti lemahnya lembaga hukum tanah air. "Berapa kali BPPN kalah lawan debitor nakal," ujarnya.
MARTHA THERTINA