TEMPO.CO, Jakarta -Juru Bicara Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas) mendukung rencana pemerintah untuk memasukkan unsur lifting gas ke dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Sebenarnya kami sudah usulkan soal lifting gas masuk asumsi APBN sejak dulu," ujar Gde ketika dihubungi, Kamis, 17 Mei 2012.
Dalam asumsi makro APBN selama ini memang unsur lifting minyak saja yang dimasukkan. Tetapi, di sisi keuangan negara pemerintah menghitung pendapatan berdasar hasil produksi minyak dan gas secara bersamaan. Oleh sebab itu, menurutnya, memasukkan lifting gas tidak akan berdampak banyak pada pendapatan negara.
"Hanya dampak psikologis saja dari sisi mengejar target liting," katanya. Ia memaparkan jika lifting minyak dan gas disatukan akan mencapai angka 2,4 juta barel setara minyak per hari, sementara jika hanya minyak saja yang dikejar liftingnya angka yang timbul sangat sedikit yaitu hanya sekitar 900 ribu barel per hari berdasar realisasi saat ini.
Gde menambahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik bahkan menyarankan pemerintah juga memasukkan lifting batubara ke dalam asumsi makro. Dengan dimasukkannya batubara, lifting bisa mencapai hingga 6 juta barel setara minyak terkait melimpahnya produksi batubara saat ini.
Penyatuan lifting minyak dan gas ini juga dinilai penting karena dalam beberapa waktu ke depan, negara akan lebih mengandalkan pendapatan dari produksi gas yang terus melimpah. Berdasar catatan, cadangan terbukti untuk gas bumi di dalam negeri masih berkisar sekitar 104 TCF dan masih bisa dikembangkan.
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.