TEMPO Interaktif,
Jakarta:Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara resmi menyatakan Grup Texmaco berstatus
default alias gagal bayar. Konsekuensinya, raksasa tekstil dan alat-alat berat kepunyaan Marimutu Sinivasan ini harus langsung melunasi seluruh utangnya senilai Rp 29 triliun yang semula diperpanjang hingga 11 tahun.Deputi Kepala BPPN Bidang
Asset Management Credit (AMC) Mohammad Syahrial mengatakan dengan dikeluarkannya surat pernyataan gagal bayar (
declaration of default), berarti Texmaco diminta untuk melakukan percepatan pembayaran utang. Seluruh utang dia jatuh tempo pada saat (dinyatakan)
default," ujarnya di Jakarta akhir pekan lalu.Sebelumnya, BPPN juga sudah membatalkan restrukturisasi utang Texmaco sebesar Rp 29,04 triliun. Langkah itu diambil setelah BPPN gagal menjual
exchangeable bond (surat utang yang bisa ditukar dengan aset) Texmaco. Syahrial menjelaskan, meski BPPN harus mengakhiri tugasnya pada 27 Februari mendatang, tidak berarti utang Texmaco tidak berbekas. Menurut dia, dengan pernyataan gagal bayar itu, hak tagih pemerintah terhadap Texmaco justru lebih kuat. Sebab, posisinya makin dipertegas bahwa pemerintah bertindak sebagai kreditor dan Sinivasan sebagai debitor (pengutang). Implikasinya, Syahrial melanjutkan, pemerintah akan tetap melakukan penagihan kepada Texmaco. Salah satunya bisa dilakukan melalui Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Selain itu, terbuka peluang opsi eksekusi surat utang menjadi aset atau saham. Seperti diketahui, untuk menyelamatkan Texmaco dari kebangkrutan, pemerintah sesungguhnya telah memberi banyak bantuan dan kelonggaran kepada kelompok usaha ini.Boleh dibilang, Texmaco bahkan merupakan program restrukturisasi aset tebesar di BPPN. Prosesnya sudah dimulai sejak Oktober 2000 lalu. Saat itu, BPPN dan Sinivasan sepakat membentuk dua perusahaan induk baru (Newco) Texmaco, yakni PT Bina Prima Perdana (tekstil) dan PT Jaya Perkasa Engineering (rekayasa permesinan). Kedua perusahaan induk ini menerima pengalihan utang dan aset-aset Texmaco. Sebagai gantinya, Newco menerbitkan
exchangeable bond yang nilainya setara dengan utangnya sebesar Rp 29,04 triliun. Dengan pola restrukturisasi ini, Texmaco diberi kelonggaran untuk mencicil utangnya selama 11 tahun. Keringanan lainnya, utang pokoknya baru harus dibayarkan pada tahun ke delapan.Masalanya kemudian, Texmaco tidak bisa memenuhi komitmennya. Bunga surat utang pertama yang jatuh tempo pada 18 Agustus 2003 senilai Rp 139 miliar tak mampu dibayarnya Meski begitu, BPPN belum pernah menyatakan secara resmi Texmaco sudah
default. Alasannya, BPPN masih berupaya melakukan penjualan aset-aset Texmaco ke calon investor yang hingga saat ini tak kunjung laku terjual.Menurut Syahrial, dengan dikeluarkannya pernyataan ini, berarti BPPN sudah menjalankan haknya sebagai kreditor. "Kunci sudah
gue buka, katanya. Debitor pun takut kalau sudah dinyatakan
default." Namun demikian, ia tidak menampik kemungkinan dilakukannya restrukturisasi ulang antara pemerintah dan Texmaco. "Tapi itu kalau dia (Sinivasan) kooperatif, ujarnya. Kalau
nggak (kooperatif), dia akan ditagih seumur hidup." Lebih jauh Syahrial menjelaskan, setelah BPPN bubar, masalah penyelesaian utang-piutang antara pemerintah dan Texmaco akan ditangani terlebih dulu oleh Tim Pemberesan. "Ke tim itu dulu, baru ke DJPLN (Direktorat Jenderal Urusan Piutang dan Lelang Negara), ungkapnya. Ia menambahkan, yang terpenting sekarang ini adalah kepolisan dan kejaksaan harus serius membantu BPPN dan pemerintah karena proses hukum mulai terbuka lebar. "Polisi dan jaksa harus aktif."Menanggapi keputusan BPPN, Ekonom Indef Iman Sugema mengatakan, tindakan itu sebenarnya sudah bisa diduga sebelumnya. Menurut dia, selama ini BPPN memang lebih mengutamakan penjualan aset ketimbang melaksanakan restrukturisasi aset, termasuk Texmaco. Karena itu, kata Iman, bagaimana BPPN bisa merestrukturisasi kalau kerjanya lebih banyak berjualan. Ini blunder yang sudah diprediksi.Iman juga menyoroti menurunnya kapasitas produksi divisi tekstil Texmaco. Sebelum menjadi pasien BPPN, kapasitasnya masih mencapai 40 persen, tapi setelah masuk BPPN malah menurun menjadi 10 persen. "Logika restrukturisasinya di mana, ujarnya.Atas dasar itu, ia justru mempertanyakan sikap BPPN yang mengalihkan hak tagihnya kepada pemerintah. Setelah gagal merestrukturisasi, mereka begitu saja melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah, katanya. "Itu sama saja cuci tangan."
Sam Cahyadi/Heri Susanto - Tempo News Room