TEMPO Interaktif, Brussels - Komisi Uni Eropa menilai kalaupun nantinya Indonesia diputuskan tidak lagi mendapat fasilitas generalized system of preference (GSP), hal itu berarti positif. Sebab, perkembangan ekonomi di Indonesia sudah dianggap sukses. Indonesia tidak lagi dinilai sebagai negara yang miskin dan sangat membutuhkan insentif tersebut.
GSP adalah fasilitas kuota dan penurunan tarif untuk produk dari 49 negara termiskin di dunia. Contohnya, bea masuk produk tekstil dan alas kaki Indonesia lebih rendah 20 persen dibandingkan negara lain. Belakangan Uni Eropa mempertimbangkan kembali apakah Indonesia masih layak diberikan insentif tersebut atau tidak mengingat ekonomi negara yang sudah tumbuh cukup baik.
Wakil Prancis untuk Urusan Asia dalam Uni Eropa, Laurent Cabrea, menyatakan,
perubahan fokus dalam sistem pemberian GSP itu didasarkan pada asas keadilan. Nantinya yang akan mendapat fasilitas GSP secara maksimal adalah negara yang benar-benar miskin dan yang dinilai sangat butuh insentif tersebut.
Meskipun tidak mengetahui secara spesifik apakah Indonesia masuk dalam daftar negara yang dikecualikan mendapat GSP tersebut, Laurent menyatakan ada sisi positif yang bisa dipetik oleh negara. “Kalaupun Indonesia tidak mendapat fasilitas itu, artinya di perkembangan ekonomi Indonesia sudah sukses,” katanya, Selasa siang.
Pada awalnya, fasilitas GSP diberikan karena negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sadar negara-negara berkembang sulit untuk memasuki pasar Eropa karena standar mutu produk cukup berat. Akibatnya, negara-negara berkembang seringkali harus “berkelahi” untuk bisa memasuki pasar tersebut.
Dengan perubahan sistem GSP ini juga diharapkan bakal menjadi jalan lain untuk menegosiasikan perdagangan bebas antara Uni Eropa dan negara-negara mitra dagangnya. Saat ini diskusi menyoal perubahan sistem insentif keringanan tarif itu masih terus dilakukan dan pelaksanaannya menunggu persetujuan Dewan Uni Eropa.
“Harapannya 1 Januari 2013 atau paling lama 1 Januari 2014 sudah bisa dilaksanakan. Tapi hingga saat itu, aturan lama masih akan tetap berlaku,” ucap Laurent.
Selain Indonesia, Malaysia juga dipertimbangkan tidak lagi dapat GSP. Myanmar yang sedang ada konflik di dalam negeri tidak diikutkan. Dengan begitu, bisa dipastikan negara-negara yang dikeluarkan dari daftar penerima GSP adalah yang tidak masuk kategori middle income superior.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan, Mahendra Siregar, menganggap Indonesia masih berhak diberikan keringanan bea masuk di Eropa. Sebab, dalam konteks indikator dan indeks sumber daya manusia, Indonesia masih termasuk negara berkembang.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Gusmardi Bustami, juga menyatakan akan memperjuangkan komoditas kopi yang tadinya bea masuk normal sebesar 10 persen agar mendapat fasilitas GSP sehingga tarifnya turun menjadi 5 persen. Hal ini merujuk negara-negara bekas jajahan Eropa bisa mendapat tarif nol persen untuk kopi. Selain itu, produk industri seperti pakaian dari Indonesia ke Uni Eropa masih dibebankan bea masuk tinggi sebesar 15-20 persen.
R. R. ARIYANI (BRUSSELS)
Berita terkait
Sri Mulyani: Masalah Impor Tidak Hanya Tanggung Jawab Bea Cukai
16 jam lalu
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan persoalan impor tidak hanya tanggung jawab Dirjen Bea Cukai.
Baca SelengkapnyaTingkatkan Ekspor ke Amerika Selatan, Kemendag Akan Pakai Perjanjian Perdagangan Bilateral dengan Cile
1 hari lalu
Kemendag berencana memanfaatkan perjanjian dagang bilateralnya dengan Cile untuk meningkatkan ekspor ke Amerika Selatan.
Baca SelengkapnyaKTT APEC di Peru Kembali Bahas Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik atau FTAAP
2 hari lalu
Pertemuan organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Arequipa, Peru kembali membahas Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik
Baca SelengkapnyaKementerian Perdagangan Antisipasi Fenomena Alih Mitra Dagang di Pasar Global
2 hari lalu
Kementerian Perdagangan mengungkapkan saat ini fenomena alih mitra dagang sejumlah negara telah mempengaruhi ekonomi global.
Baca SelengkapnyaPengamat Usul Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Kembali Digabung di Pemerintahan Prabowo
5 hari lalu
Wacana penambahan kementerian di pemerintahan Prabowo berpotensi membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
Baca SelengkapnyaKementerian Perdagangan Sebut Waralaba Makanan dan Minuman Terbesar, Capai 47 Persen
8 hari lalu
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim menyebut bisnis waralaba di sektor makanan dan minuman menjadi yang terbesar
Baca SelengkapnyaKemenperin Jamin Pengetatan Impor Tidak Bebani Industri Manufaktur
12 hari lalu
Aturan pengetatan impor dijamin tidak bebani industri manufaktur. Pelaku industri alas kaki menganggap aturan memperumit birokrasi dalam memperoleh bahan baku dari luar negeri.
Baca SelengkapnyaBarang Pekerja Migran Bebas Masuk tapi Harus Ikuti Peraturan Menteri Keuangan, Apa Saja Syaratnya?
15 hari lalu
Kementerian Perdagangan menghapus pembatasan jumlah maupun jenis pengiriman atau barang impor milik pekerja migran (PMI) tapi tetap diawasi Bea Cukai
Baca SelengkapnyaKian Panas, Turki Putuskan Hubungan Dagang dengan Israel
15 hari lalu
Turki memutuskan hubungan dagang dengan Israel seiring memburuknya situasi kemanusiaan di Palestina.
Baca SelengkapnyaHarga Produk Pertambangan Masih Fluktuatif
16 hari lalu
Harga komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar fluktuatif, konsentrat tembaga dan seng masih naik pada periode Mei 2024.
Baca Selengkapnya