“Kami memanggil pemilik untuk memberikan surat penolakan, dan akan masuk portal Indonesia National Single Window (INSW),” kata Kepala Badan Karantina Pertanian Banun Harpini, Jumat, 25 Maret 2011. Sampai saat ini empat perusahaan pemilik daging impor dari Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Australia itu belum menyerahkan SPP.
Sesuai dengan peraturan pemerintah tentang karantina hewan, daging impor senilai Rp 45-50 miliar ini harus dibawa keluar dari wilayah Indonesia terhitung tiga hari sejak surat penolakan diterbitkan. Jika pemilik kesulitan mengangkut seluruh daging untuk dikembalikan, Badan Karantina memberi tenggat sampai tujuh hari. “Jika tidak, tindakan selanjutnya adalah pemusnahan,” katanya.
Badan Karantina mempersilakan pemilik daging mengirim kembali barangnya ke negara asal sepanjang memiliki jaringan. Begitu juga jika ingin menjualnya ke negara lain, seperti Hong Kong atau Korea Selatan. Keputusan ini tanggung jawab pemilik, termasuk biaya pemusnahan. Biaya pemusnahan daging impor sebanyak ini diperkirakan Rp 2 miliar. “Yang penting, lihat waktunya,” kata dia.
Menurut Banun, jika pemilik memilih reekspor daging, pihaknya tidak memiliki kewenangan apa pun karena reekspor merupakan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tentang siapa empat perusahaan pemilik daging ini, Banun enggan menyebutkan. “Silakan tanya Balai Besar Karantina Tanjung Priok,” katanya.
Ihwal potensi kerugian negara yang timbul akibat tertahannya daging ini, dia tidak berani memastikan. Tapi, jika harga rata-rata daging sapi Rp 50 ribu per kilogram, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 50 miliar.
Terkait dengan keberadaan daging yang tertahan ini, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan cenderung untuk memusnahkan. Menurut Agus, dalam laporan terakhir disebutkan daging ilegal dengan status barang yang tidak dikuasai cukup banyak. Jika keberadaan barang ini sampai lebih dari 60 tahun, barang itu jadi milik negara. “Kita harus putuskan mau diapakan barang-barang itu,” katanya.
SUTJI DECILYA | IQBAL MUHTAROM