PT Jasa Marga telah berupaya mengajukan kenaikan tarif itu sejak tahun 1998, namun selalu ditolak, ujar Irfan Muktiono dalam penjelasannya melalui makalah setebal 18 halaman yang mengurai investigasi ICW. Secara faktual dari kinerja keuangan, PT Jasa Marga pada tahun 1999 memang mengalami penurunan laba bersih sekitar 7,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hasil audit PwC yang dipublikasikan pada April silam menyebutkan pendapatan usaha BUMN yang mengelola 12 ruas jalan dan jembatan tol pada 1999 mencapai Rp 744,3 miliar.
Pendapatan usaha ini meningkat 9,5 persen dari tahun sebelumnya. Walaupun pendapatan usaha meningkat, namun beban usaha juga mengalami peningkatan sampai sepuluh persen dari Rp 446,8 miliar pada 1998 menjadi Rp 491,5 miliar pada 1999. Inilah sebabnya PT Jasa Marga mengalami penurunan laba bersih walaupun tidak signifikan.
Akan tetapi ICW mempertanyakan apakah alasan penurunan laba bersih itu tepat menjadi tolak ukur menaikkan tarif. Irfan menuturkan Direktur Utama PT Jasa Marga, Syarifudin Alambai, sempat mengakui kepada dirinya kerugian PT Jasa Marga lebih disebabkan kontrak-kontrak bermasalah dengan pihak swasta lokal. Hasil audit PwC pada periode 1995 1999 menyatakan bahwa BUMN itu mengalami kerugian Rp 7,559 triliun. Rp 6,726 triliun adalah kerugian dari bidang investasi, sementara sisanya dari sisi operasional dan pendanaan.
Karena itu Irfan memandang kenaikan tarif itu jangan diberlakukan dulu sampai persoalan kontrak-kontrak investasi bermasalah itu diselesaikan terlebih dahulu. Namun apabila harus dinaikkan pun, Irfan meminta agar tidak diberlakukan secara keseluruhan.
Penolakan kenaikan tarif tol juga ditegaskan oleh Zaim Saidi, salah seorang anggota ICW dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Indah Sukmaningsih dalam kesempatan yang sama. Menurut keduanya, kenaikan tarif tol pada saat ini sangat tidak masuk akal dan memberatkan publik.
Saidi menilai bahwa usulan kenaikan tarif itu melanggar ketentuan tentang tarif tol yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2001 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 8 Tahun 1990. Menurut PP 40, kenaikan tarif tol hanya bisa dilakukan setiap tiga tahun sekali dan kenaikan maksimumnya sebesar 25 persen.
Selain itu dia juga mengatakan bahwa logika ekonomi rasional menyatakan bahwa pengelolaan jalan tol yang telah berlangsung lama seharusnya justru semakin murah. Biaya investasi seharusnya telah kembali, kalau tidak keseluruhan, sebagiannya, kata Saidi. Maka, lanjut dia, tarif yang ditetapkan harusnya mencerminkan biaya perawatan. Namun dia menilai bahwa saat ini jalan tol telah mengalami kepadatan dan kemacetan. Yang menurut logika ekonominya harganya harusnya semakin murah, karena kualitasnya memburuk, ujar dia lagi.
Hampir senada dengan Saidi, Indah Sukmaningsih menilai bahwa usulan kenaikan tarif tol ini tidak mencerminkan keadilan bagi konsumen. Dia mengatakan bahwa dalam UU perlindungan konsumen, apa yang diperjualbelikan seharusnya berstandar. Apa benar jalan tol berstandar? tanya dia.
Menurut Indah, dalam persoalan ini ada unsur ketidakadilan apabila tarif itu disetujui. Mengingat persoalan yang disampaikan ICW bahwa kerugian PT Jasa Marga lebih disebabkan kerugian investasi, Indah menyayangkan bahwa kerugian itu harus dibebankan kepada konsumen. Sementara sewaktu berinvestasi konsumen tidak diajak, tandasnya.
Menanggapi penolakan itu, Direktur Utama PT Jasa Marga, Syarifudin Alambai, meminta pengertian bahwa kenaikan tarif itu sulit dihindari memandang seretnya pendanaan operasional jalan tol. Pendanaan operasional dan perawatan jalan tol, menurut Syarifudin, telah mencapai 80 persen dari keseluruhan pendapatan. Padahal keuntungan itu masih harus dialokasikan untuk menutupi biaya investasi yang didapat melalui pinjaman, beserta bunganya. Apalagi, kata dia lagi, investasi jalan tol ini adalah investasi jangka panjang yang kurun waktunya bisa mencapai 25 sampai 30 tahun sehingga membutuhkan biaya banyak.
Publik diminta untuk tidak terlalu khawatir, karena Syarifudin menjanjikan bahwa kenaikan tarif itu tidak akan diberlakukan bagi angkutan umum. Selain itu, dia juga menganggap bahwa pengguna jalan tol umumnya adalah golongan menengah ke atas, sehingga kenaikan itu tidak akan memberatkan.
Kisaran kenaikan yang antara 30 sampai 40 persen itu, lanjut Syarifudin, juga belum final benar. Selain karena masih akan dibahas di DPR, sekitar Januari 2002 mendatang sehingga bisa diberlakukan pertengahan tahun depan, kenaikan itu juga tidak akan diberlakukan merata. Dia bahkan menerima pandangan Irfan dari ICW yang meminta agar tidak semua jalan tol dinaikkan tarifnya.
Sementara permintaan Indah agar disertakan ketentuan tentang kompensasi dalam surat pemberlakukan kenaikan tarif itu nantinya, Syarifudin menilai hal itu sulit diberlakukan. Permasalahan jalan tol itu menurut dia sangat kompeks. Secara sepihak Jasa Marga bisa menjanjikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, namun dia tidak bisa menjamin masyarakat pun memiliki sikap yang baik selaku pengguna jalan tol. Kemacetan itu kebanyakan disebabkan pengguna jalan yang tidak taat aturan, tandas dia. Karena itu apabila konsumen bisa diminta komitmennya untuk menaati setiap rambu dan aturan di jalan tol, pihak Jasa Marga, menurut dia, tidak akan berkeberatan menyertakan kompensasi. (Deddy Sinaga-Tempo News Room)