Ia mengatakan, tender pra-kualifikasi telah dilakukan ExxonMobil dan delapan kontraktor sudah menyatakan minatnya untuk mengerjakan proyek tersebut. "Tapi BP Migas belum memberi persetujuan," katanya. Jika BP Migas memberi persetujuan, maka ExxonMobil memerlukan waktu lebih dari setahun untuk mencapai kesepakatan dengan kontraktor.
Produksi minyak Blok Cepu juga tertunda karena setahun lalu pemerintah memperdebatkan soal penempatan kilang pengolahan minyak di Tuban, apakah harus lepas pantai atau di darat saja. "Keputusan memakai kilang lepas pantai baru kami terima Maret 2009 dan itu menyebabkan proyek tertunda tujuh bulan," ujar Nelson.
Menurut dia, ExxonMobil tidak pernah memasang target produksi harus dilakukan pada Maret 2010. Target itu hanya berdasarkan asumsi dalam joint operation agreement pada 15 Maret 2006. Dalam perjanjian kerja sama itu, Pertamina dan ExxonMobil sepakat menunjuk Mobil Cepu Limited (anak usaha ExxonMobil) sebagai operator dan akan memproduksi minyak dalam kapasitas penuh 165 ribu barel per hari dalam jangka waktu 48 bulan sejak kesepakatan dibuat atau 15 Maret 2010.
"Waktu mencapai kesepakatan asumsinya tidak ada perubahan teknologi dan keterlambatan persetujuan kontrak," katanya. Ia juga membantah jika akibat dari keterlambatan proyek itu terjadi pembengkakan biaya operasional. "Kalau dibandingkan dengan plan of development lama (2001) memang biayanya meningkat," ucapnya. "Tapi kami pastikan proyek ini tetap ekonomis dan atraktif."
Sebagai contoh soal pemasangan pipa dari kepala sumur (well head) yang awalnya hanya lima ratus meter panjangnya menjadi 2,2 kilometer. Hal itu terpaksa dilakukan karena terdapat masalah pembebasan lahan. Ia juga memastikan ExxonMobil akan terus berkomitmen mengembangkan proyek ini karena dana yang telah dikeluarkan perusahaan itu sudah mencapai US$ 1 miliar.
Oleh karena itu, ExxonMobil tidak akan menyerahkan hak operatornya kepada Pertamina meskipun pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat memberikan sinyal untuk mengambil langkah tersebut. "Tidak ada basis untuk mengganti operatorship," katanya.
Produksi awal blok ini, Nelson melanjutkan, mulai meningkat dari sekitar seribu barel pada awal September menjadi mencapai 4.700 barel per hari hingga saat ini. Targetnya pada pertengahan Oktober nanti akan mencapai 10 ribu hingga 20 ribu barel per hari.
Menurut sumber Tempo, biaya operasional Blok Cepu telah membengkak dua kali lipat karena keterlambatan produksi awal sebesar 20 ribu barel dari Desember 2008 menjadi akhir Agustus 2009. "Proyek tidak ekonomis karena 70 persen biaya yang dikeluarkan untuk sumber daya manusia, bukan untuk fasilitas, seperti pipa, yang nantinya menjadi milik negara," ucap dia.
Dana untuk produksi awal 20 ribu barel per hari naik dari semula US$ 20 juta menjadi US$ 40 juta. Biaya untuk produksi dengan kapasitas 165 ribu barel per hari membengkak dua kali lipat lebih dari US$ 2,365 miliar menjadi US$ 5,235 miliar.
Rinciannya, biaya pengeboran naik dari US$ 272 juta menjadi US$ 540 juta, biaya fasilitas di lapangan naik dari US$ 838 juta menjadi US$ 2,3 miliar, dan biaya operasi (OPEX) meningkat dari US$ 1,2 miliar menjadi US$ 2,34 miliar. Hanya biaya abandonment (reklamasi lapangan) saja yang masih tetap sebesar US$ 55 juta.
SORTA TOBING