Indef: Pemerintahan Prabowo-Gibran akan Dibayangi Tekanan Ekonomi dan Pelemahan Daya Beli
Reporter
Hammam Izzuddin
Editor
Agung Sedayu
Jumat, 11 Oktober 2024 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan penurunan daya beli beberapa bulan terakhir bisa jadi momok untuk masa awal pemerintahan Prabowo Subianto. Menurutnya, ekonomi Indonesia akan berat tembus lima persen pada kuartal ketiga dan keempat 2024.
Tauhid menambahkan, sebenarnya pada kuartal pertama dan kedua Indonesia sudah konsisten mengalami pertumbuhan ekonomi di atas lima persen. Namun, deflasi dan tekanan ekonomi yang terjadi beberapa waktu belakangan menurutnya jadi penanda perlambatan ekonomi.
“Kuartal ketiga dan keempat mungkin akan di bawah lima persen. Konsekuensinya secara agregat ekonomi kita mentok lima persen,” kata Tauhid kepada Tempo, 3 Oktober 2024 lalu.
Menurutnya, dampak dari kondisi saat ini akan dirasakan pada awal pemerintahan Prabowo Subianto. Pasalnya, ketika ekonomi turun, ia menilai kesejahteraan juga akan ikut merosot.
“Kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, ini multiplier efeknya besar. Dan akan terjadi nanti,” ujarnya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 minus 0,12 persen (MtM). Angka ini sekaligus menunjukkan tren deflasi yang terus berlanjut selama lima bulan terakhir sejak Mei 2024.
Mengenai deflasi, Tauhid memaparkan kondisi itu bisa dilihat dari volatile food atau kategori pangan bergejolak seperti daging ayam ras, telur, hingga bawang merah. Kategori tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang seharusnya tetap masyarakat meski harganya mengalami perubahan.
“Tapi ketika masyarakat tidak punya daya beli, akhirnya dia nggak sanggup dan mengakibatkan harga turun. Dan itu menjadi deflasi,” terang Tauhid kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.
Selain deflasi tersebut, ia menyitir data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia yang pada September 2024 anjlok ke zona kontraksi 49,2. Kontraksi sudah terjadi sejak Juli.
Menurutnya, angka PMI manufaktur di bawah 50 menunjukkan barang yang dijual lebih sedikit daripada input yang dibeli oleh industri. Artinya, ada stok berlebih dari industri karena minimnya pembeli. Namun, kata Tauhid, saat ini kondisi itu tidak hanya terjadi di Indonesia.
“Lalu ada angka pembelian kendaraan roda dua, itu kontraksi minus hingga 4,1 persen. Selain itu laju kredit juga minus,” terangnya.
Pilihan Editor: Terpopuler: Besaran Kenaikan Gaji dan Tunjangan Hakim yang Disetujui Kemenkeu, 12 Nama yang Dikabarkan Jadi Menteri Kabinet Prabowo