Pasokan Gabah Terbatas, Perpadi Sebut Banyak Penggilingan Padi Skala Besar dan Kecil Tutup
Reporter
Amy Heppy
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 2 November 2023 08:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi (Perpadi) Sutarto Alimoeso angkat bicara soal tingginya harga gabah saat ini membuat pasokan di lapangan menjadi sangat terbatas. Akibatnya, sejumlah perusahaan penggilingan padi baik skala besar ataupun kecil memilih untuk menyetop kegiatannya.
Perusahaan penggilingan padi berskala besar, misalnya, saat ini hanya mampu melakukan penggilingan sebanyak 50 persen dibanding saat kondisi normal. “Kalau yang besar saja ada yang berhenti, salah satunya Sumo," ujar Sutarto saat ditemui usai acara Diskusi Publik Sustainable Rice Platform(SRP) dan Beras Berkelanjutan di Indonesia yang digelar di Jakarta, pada Rabu, 1 November 2023.
Jadi, menurut Sutarto, jika perusahaan penggilingan padi mengatakan hanya 50 persen dari kondisi normal yang digiling saat ini, berarti di lapangan masih ada yang mempertahankan kegiatan produksi. Agar tetap bisa terus beroperasi, ada sejumlah penggilingan padi yang mengambil gabah dari daerah yang masih surplus.
Lebih jauh, Sutarto menjelaskan, tingginya harga gabah saat ini dipengaruhi naiknya biaya produksi seperti harga pupuk dan bibit yang juga naik. Selain itu, fenomena El Nino yang sedang terjadi menyebabkan pasokan gabah menjadi terbatas.
“Ini musiman, ditambah lagi ada El Nino sehingga beras yang tadinya bisa tanam jadi tidak bisa tanam. Akan lebih panjang pancekliknya,” tutur mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian tersebut.
Menanggapi kelangkaan tersebut, ia menyarankan pemerintah untuk membangun klaster yang terdiri atas penggilingan padi dan sejumlah petani yang akan mendorong terjadi efisiensi produksi dan penyerapan gabah.
“Satu penggilingan padi kecil bisa 300 hektare binaan. Nanti 300 hektare ini setiap begitu panen masuk ke penggilingan padi di situ, itu kan akan terjadi efisiensi. Bahkan jika panjang bisa mengurangi transportasi, transportasi mengurangi minyak bumi yang menghasilkan karbon. Itu efisiensi,” ucap dia.
Ia juga mengomentari soal harga gabah saat ini yang masih tinggi yakni berada di kisaran Rp 7.000 per kilogram. Ia menilai angka tersebut sulit untuk kembali ke harga normal sesuai Harga Acuan Pembelian (HAP) Rp 5.000 per kilogram.
“Kalau Rp 7000-an lebih, sekarang disuruh turun jadi Rp 5.000, saya kira tidak mungkin. Saya pesimistis,” ujar Sutarto. Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar pemerintah dapat menaikkan HAP gabah menjadi kisaran Rp 6.0000-an per kilogram.
Selanjutnya: “Mungkin idealnya sekitar Rp 6.000-an, ..."
<!--more-->
“Mungkin idealnya sekitar Rp 6.000-an, petani mungkin masih menikmati untung. HET berasnya ya tinggal kita sesuaikan,” ujarnya.
Dengan kenaikan harga gabah, menurut Sutarto, otomatis HET beras medium juga harus dinaikkan dari yang kini Rp 10.900 per kg menjadi sekitar Rp 11.500-Rp 12.000 per kg. Sedangkan untuk beras premium masih bisa dipertahankan untuk tetap berada di angka Rp 13.900 per kg.
“Harus dikoreksi juga, HET medium itu terlalu jauh dengan premium. Seperti sekarang, tidak ada yang mau memenuhi premium. Jadi orang yang menghasilkan premium jualnya pasti di atas HET,” ucapnya.
Sutarto menjelaskan harga gabah yang kini berada di atas Rp 7.000 karena dampak El Nino yang mengakibatkan suplai gabah menjadi terbatas. Namun faktor lain yang mengakibatkan harga gabah melonjak adalah harga pupuk dan bibit yang juga naik.
“Yang kedua, dari aspek memotong mata rantai ini perlu dilakukan supaya efisien. Kemudian saya dari aspek hilir itu sebenarnya penggilingan padi kecil banyak terjadi losses atau kehilangan hasil karena tercecer. Kedua, kualitas yang rendah atau efisiensinya kurang,” ucap Sutarto.
Kemudian untuk penanganan dari sisi hilir, Perpadi juga meminta pemerintah melakukan revitalisasi modal untuk mengubah alat mesin, menyediakan mesin pengiring gabah dan alat pendukung lainnya yang bisa menekan jumlah kehilangan panen.
“Sehingga kehilangan hasilnya bisa kita tekan, efisiensi kita tingkatkan, pasti rendemennya bisa meningkat. Bisa saja 2-5 persen hasil itu bisa hilang di situ bisa aja terjadi,” sebutnya,
AMY HEPPY | ANTARA
Pilihan Editor: Inflasi Oktober 2023 Mencapai 0,17 Persen, BPS: Transportasi hingga Beras jadi Penyumbang Terbesar