Kekerasan terhadap Warga Pulau Rempang Dikecam, INFID Nilai Pemerintah Membela Investasi di Atas HAM
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Grace gandhi
Minggu, 17 September 2023 11:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengecam keras tindakan represif yang terjadi terhadap warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau oleh aparat kepolisian.
Direktur Eksekutif INFID Iwan Misthohizzaman menilai kejadian tersebut menunjukkan bahwa pemerintah lebih membela investasi ketimbang hak asasi manusia (HAM).
Adapun kekerasan terjadi saat warga Rempang menolak pembangunan proyek Rempang Eco City.
"Aspek hak asasi manusia harus menjadi dasar pembangunan dan investasi di atas kalkulasi keuntungan," ujar Iwan dalam keterangannya, Ahad, 17 September 2023.
Proyek Rempang Eco City merupakan bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan pada 28 Agustus 2023.
Badan Pengembangan Batam (BP Batam) memperkirakan investasi pengembangan proyek Rempang Eco City mencapai Rp 381 triliun. Selain itu, BP Batam juga mengklaim proyek tersebut membuka 306 ribu tenaga kerja hingga 2080.
Proyek tersebut menuai sejumlah kritik. INFID pun meminta pemerintah dan pengelola proyek Rempang Eco City menghentikan proses relokasi, hingga ada prosedur, kajian, dan regulasi yang jelas ihwal hak pengelolaan tanah di Pulau Rempang. Menurut Iwan, pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi hak pengelolaan atas tanah di Pulau Rempang secara jelas dan transparan. Artinya, melibatkan secara bermakna warga lokal dan masyarakat adat setempat.
Selanjutnya: Studi terakhir INFID (2023) mengenai pembiayaan....
<!--more-->
Studi terakhir INFID (2023) mengenai pembiayaan proyek pembangunan menemukan bahwa motivasi pembiayaan pembangunan saat ini mayoritas berbasis komersialisasi. Hal ini mengakibatkan rendahnya akuntabilitas proyek pembangunan, disertai proses proyek pembangunan yang terburu-buru dan dipaksakan karena menjelang tahun 2024 di masa akhir kepemimpinan pemerintah saat ini.
INFID juga mendesak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk meminta maaf kepada publik dan warga Pulau Rempang. Kepolisian telah menggunakan gas air mata di dekat area sekolah yang telah membahayakan anak-anak.
Iwan menilai penggunaan gas air mata juga dapat mengganggu dan menceraiberaikan proses belajar-mengajar yang menjadi hak anak dan juga kewajiban negara untuk meningkatkan kapasitas warga negara.
Lebih lanjut, INFID mendesak Polri untuk melakukan investigasi menyeluruh yang transparan dan akuntabel soal penggunaan kekerasan dan gas air mata di wilayah yang terdapat lembaga pendidikan. Ia menekankan penggunaan gas air mata ini jelas melanggar aturan.
Iwan menggarisbawahi bahwa polisi dilarang untuk melakukan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah kejahatan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Aturan soal ini juga tertuang dalam Peraturan Kapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang meletakkan penggunaan gas air mata pada tahapan ke-5 (Pasal 5 ayat 1e) dan yang pada pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa tahapan penggunaan kekuatan harus sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.
"Kasus Pulau Rempang ini jangan sampai menjadi contoh nyata bahwa negara lebih mementingkan investasi tanpa memanusiakan warganya sendiri," ucap Iwan.
Pilihan Editor: ASDP Layani 23,1 Juta Penumpang dan 4,38 Juta Kendaraan di Semester I