Polusi Udara karena Penggunaan Kendaraan Umum Rendah, Kemenhub: Di Bawah 20 Persen
Reporter
Amelia Rahima Sari
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 24 Agustus 2023 13:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebut penggunaan kendaraan umum di Indonesia masih rendah bila dibandingkan negan negara-negara lain. Masifnya penggunaan kendaraan pribadi ini yang kemudian disebut-sebut memicu makin pekatnya polusi udara.
"Kalau kita bandingkan masyarakat itu menggunakan kendaraan umum di lingkungan kita dibandingkan dengan negara lain masih jauh gap-nya," kata Direktur Lalu Lintas Jalan Kemenhub Cucu Mulyana dalam konferensi pers Penanganan Polusi Udara yang digelar secara virtual pada Kamis, 24 Agustus 2023.
Dia menjelaskan, tingkat penggunaan angkutan umum di Singapura, Hong Kong dan Tokyo sudah mencapai lebih dari 50 persen. Sedangkan di Kuala Lumpur dan Bangkok mencapai 20 sampai 50 persen.
"Sementara di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, kita masih di bawah 20 persen," tutur Cucu.
Lebih jauh, dia menyebut kemacetan Jakarta berada di ranking ke-10 dunia, berada satu tingkat di atas Bangkok. Menurut Cucu, tingkat kemacetan tersebut masih wajar mengingat minimnya penggunaan kendaran umum dan pertumbuhan industri.
Namun kemacetan itu kemudian menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. "Kalau berdasar kajian dari World Bank tahun 2019, akibat kemacetan saja kerugian negara di Jakarta mencapai di angka Rp 65 triliun per tahun. Kemudian kalau diperluas di Jabodetabek, angka kerugiannya itu mencapai di atas Rp 100 trliun per tahun," ujar dia.
Selanjutnya: Sedangkan kerugian di kota-kota lain...
<!--more-->
Sedangkan kerugian di kota-kota lain, seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar masing-masing mencapai Rp 12 triliun per tahun. Oleh sebab itu, dia menyatakan sumber permasalahan di sektor transportasi harus dibedah jika ingin menurunkan tingkat polusi udara akibat sektor itu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani sebelumnya menilai masalah polusi udara tidak semata-mata disebabkan oleh kendaraan. Ada faktor lain, seperti pembangkit batu bara dan sampah. "Ini yang mungkin menjadi tugas kita bagaimana bisa mempercepat transisi energi yang ada," ucapnya, Selasa, 22 Agustus 2023.
Oleh sebab itu, ia menilai kebijakan work from home (WFH) sebagai kebijakan reaktif. Menurut dia, WFH saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah polusi udara.
"Kita perlu solusi yang integrated. WFH ini reaktif. Karena dianggap kalau tidak pakai kendaraan yang fossil fuel-nya tinggi, mungkin bisa mengurangi polusi," tuturnya.
Di sisi lain, kata Shinta, WFH akan berpengaruh pada produktivitas kerja. Sebab, tidak semua pekerjaan di sektor swasta bisa menerapkan WFH. Baik WFH total ataupun WFH 50 persen alias hybrid. Dia pun berharap pemerintah tidak hanya melihat dari aspek mobilitas atau kendaraan untuk mengatasi masalah polusi udara.
AMELIA RAHIMA SARI | RIRI RAHAYU
Pilihan Editor: PLTU Dituding Penyebab Polusi Udara, PLN Beberkan Teknologinya Rendah Emisi