Kementerian PUPR Sebut Pembangunan Infrastruktur di Sektor Air Butuh Peran Swasta
Reporter
Ahmad Fikri (Kontributor)
Editor
Grace gandhi
Senin, 20 Maret 2023 15:18 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan, pembiayaan infrastruktur sektor air selama ini banyak bergantung pada pembiayaan pemerintah.
“Padahal sektor pemerintah, state budget itu hanya bisa menampung )membiayai) kurang lebih 30-37 persen. Sehingga kalau kita mau mengejar target SDGs tahun 2030 kita harus mengundang pihak swasta. Di sinilah kita perlu membuat skema pembaiyaan sedemikian rupa yang terjangkau bagi masyarakat, tapi juga menarik bagi swasta,” kata Herry selepas membuka workshop “Blended Finance for Water Sector” di ITB, Bandung, Senin, 20 Maret 2023.
Herry mengatakan, masalah pembiayaan tersebut menjadi perhatian dunia. Workshop yang berlangsung di ITB tersebut menjadi rangkaian side event menjelang 10th World Water Forum yang akan berlangsung pada Mei 2024 di Bali. Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah.
“Topik hari ini akan membahas blended finance untuk sektor air. Blended finance itu bagiaman kita mengombinasikan resources, resources itu ada yang mahal, ada yang murah, ada yang gratis,” kata Herry.
Herry mengatakan, hasil worskhop tersebut diharapkan bisa mendapati formula skema pembiayaan yang terbaik. “Diharapkan nanti dari sini kita bisa memformulasikan skema yang paling baik itu seperti apa,” kata dia.
Herry mencontohkan kebutuhan infrastruktur sektor air Indonesia. “Yang perpipaan saja baru 20 persen, artinya kita masih ada potensi peluang mengekspan yang 80 persen. Sebagai ilustrasi, RPJMN untuk meningkatkan 20 persen jadi 30 persen itu butuh dana Rp 123,4 triliun dalam 5 tahun. Kalau 80 persen itu seribuan triliun lebih, jadi potensinya luar biasa. Makanya hari ini kita coba diskusikan format seperit apa sehingga swasta bisa masuk, tapi tetap airnya affordable buat masyarakat karena air itu masalah semua orang,” kata dia.
Herry mengatakan, kendala pelibatan swasta dalam membangun infrastruktur publik umumnya pada kepastian rencana bisnis yang ditawarkan. “Swasta itu yang dibutuhkan kepastian. Nah ini yang harus disediakan untuk bisa membuat bussiness plan yang pasti, berarti harus ada kepastian pendapatan, karena biaya dilakukan di depan dan akan dikembalikan dalam waktu 20-30 tahun,” kata dia.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Setiawan Wangsaatmaja membenarkan soal pembiayaan yang selama ini menjadi kendala dalam membangun infrastruktur publik di sektor air. “Itu memang kami rasakan betul. Ketika pemerintah hanya mengandalkan uang pemerintah saja untuk mengekspansi atau untuk mengejar akses terahadap perpipaan saja masih jauh. Kemampuan dari pemerintah dan pemerintah daerah barangakali hanya 20-30 persen,” kata dia.
Setiawan mengatakan, Jawa Barat saat ini tengah menggarap empat proyek terkait penyediaan air baku dengan melibatkan swasta. Skema yang digunakan tersebut misalnya KPBU atau PPP, Unsolicited PPP, serta Busssines to Bussiness (B to B). Misalnya proyek SPAM Jatigede untuk penyediaan air baku Cirebon Raya yang pembiayaannya menggunakan skema KPBU, serta akses pipa ari baku Bandung Selatan.
Selanjutnya: Di Bandung Selatan itu posisinya....
<!--more-->
“Di Bandung Selatan itu posisinya menunggu approval terkait dengan tarif. Karena kami bekerja sama dengan Kementerian Keuangan melalui PT SMI untuk penentuan tarifnya,” kata dia.
Setiawan mengatakan, blended finance menjadi strategis untuk mengejar target pembangunan. Jawa Barat sendiri membutuhkan sekitar Rp 20 triliun sampai dengan 2035. Oleh karena itu, blended finance ini menjadi andalan kalau mau mengejar pemenuhan akses terhadap perpipaan.
Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) Muhammad Wahid Sutopo mengatakan, PII menjadi special mission vehicle milik Kementerian Keuangan untuk mendorong pembiayaan swasta memasuki sektor publik. “Kami secara umum mendukung upaya-upaya untuk mempercepat pengembangan infrastruktur untuk pemenuhan kebutuhan air di seluruh Indonesia,” kata dia.
Wahid mengatakan, PII saat ini terlibat dalam enam proyek infrastruktur lewat dua fasilitas pembiayaan yang disediakan pemerintah. Dia tidak merinci proyek tersebut. Skema yang dimandatkan pada perusahaan adalah skema penjaminan pemerintah dan skema Project Development Facility. Dengan harapan, dapat mengundang minat dan partisipasi dari pihak-pihak swasta untuk lebih berperan dalam pengambangan infrastruktur air bersih.
Rektor ITB Reini Wirahadikusumah mengatakan, pendanaan infrastruktur membutuhkan inovasi. “Jadi pemerintah harus berinovasi. Tugas perguruan tinggi itu membantu berpikir dan juga memberikan validasi terhadap pemikiran-pemikiran kemudian menyuarakan juga pemikiran-pemikiran itu secara obyektif sehingga membantu masyarakat untuk mengerti,” kata dia.
Reini mengatakan, masalah yang dihadapi dalam membangun publik infrastruktur itu bukan hal teknis. Publik infrastruktur itu masalah teknisnya hanya 10 persen. Kalau membangun bendung, air bersih, dan sebagainya, ITB bisa semua. Tapi yang sulit itu adalah masalah non-teknis. Sementara 90 persen publik infrastruktur itu problemnya non-teknis. Non-teknis itu adalah uang. Uang itu juga tidak cukup, harus ada dukungan masyarakat, di samping juga ada masalah sosial dan lingkungan.
Vice Chairman of Program and Session 10th World Water Forum 2024 Arie Setiadi mengatakan, kegiatan yang dilakukan di ITB tersebut juga akan dilangsungkan di sejumlah perguruan tinggi lainnya. Level pembahasan kemudian akan meningkat ke level wilayah, hingga kebijakan.
Menurut dia, Indonesia sebagai penyelenggara berharap bisa menghasilkan sesuatu karena air itu adalah everibody bussiness. Masalah yang disampaikan tadi bukan hanya dihadapi Indonesia, tapi secara global. "Mudah-mudahan kita bisa menghasilkan sesuatu yang bisa disepakati di level dunia,” kata Arie.
AHMAD FIKRI
Pilihan Editor: Tanggapi Banjir di IKN, Otorita IKN: Kami Sedang Bangun Infrastruktur untuk Mitigasi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini