RI Fokus Hilirisasi di 8 Sektor Prioritas, Bahlil Yakin Investasi Bisa Tembus USD 543,3 Miliar
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 19 Januari 2023 21:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi sekaligus Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pemerintah berfokus pada penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi yang berorientasi pada energi dan industri hijau. Arah kebijakan hilirisasi itu pun tidak hanya untuk sumber daya nikel.
Sedikitnya, kata Bahlil, ada 8 sektor prioritas, yaitu mineral, batu bara, minyak bumi, gas alam, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan dengan 21 komoditas.
Baca: Bentrok Karyawan PT GNI, Bahlil: Menimbulkan Persepsi Negatif Investasi Indonesia
“Kebijakan ini sudah berjalan dan direncanakan nilai investasinya akan mencapai US$ 545,3 milar hingga tahun 2025,” kata Bahlil dalam keterangan resmi, Kamis, 19 Januari 2023.
Bahlil mengklaim Indonesia akan menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang fokus menjalankan proses nilai tambah di negara sendiri. Karena itu, dia mengundang investor untuk datang membawa teknologi, modal, dan sebagian pasar. “Kami ditugaskan Presiden untuk memberikan jaminan percepatan perizinan kepada investor,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bahlil juga mengatakan bahwa perjuangan Indonesia dalam hilirisasi ini mendapatkan pertentangan luar biasa dari dunia. Namun, dia menegaskan bahwa hilirisasi ini adalah jalan tengah untuk Indonesia berubah dari negara berkembang menuju negara maju.
Hilirisasi, menurut Bahlil, tidak hanya untuk menguntungkan para pengusaha dan investor tapi juga berkolaborasi dengan pengusaha daerah dan UMKM yang ada di daerah agar tumbuh bersama-sama.
Adapun pertentangan dunia terhadap upaya pemerintah melakukan hilirisasi adalah panel panel WTO di Despute Settlement Bodu (DSB) yang memutuskan kebijakan larangan ekspor dan pemurnian mineral nikel di Indonesia melanggar ketentuan.
Selanjutnya: Peraturan yang dinilai melanggar...
<!--more-->
Adapun peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 perubahan kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Selanjutnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Terakhir, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam hasil putusan final tersebut disebutkan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Panel juga menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (aspek lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Akan tetapi, Indonesia akhirnya resmi mengajukan banding. Banding pemerintah atas kasus sengketa dengan Uni Eropa itu telah disampaikan ke WTO pada Senin, 12 Desember 2022, seperti dilihat dari pengumuman sengketa dagang WTO.
Baca juga: Bahlil : Target Hilirisasi Investasi US$ 545,3 Miliar
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.