Pastikan Kebijakan Rasio Hak Ekspor CPO Tidak Berubah, Kemendag: Informasi Lain Hoaks
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 29 November 2022 05:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan kebijakan ihwal ekspor produk minyak sawit atau crude palm oil (CPO) tak akan berubah. Artinya, ekspor CPO hingga kini hanya bisa dilakukan dengan volume sebesar delapan kali dari besaran hasil validasi terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO), yang dilaporkan melalui aplikasi SIMIRAH.
“Saat ini ketentuan rasio kuota hak ekspor CPO dan produk turunannya sebesar delapan kali dari DMO (domestic market obligation) CPO atau minyak goreng," ujar Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi, dikutip dari keterangan tertulis pada Senin, 28 November 2022.
Ia menjelaskan pemerintah belum berencana melakukan perubahan menjadi 1:9 atau perubahan lainnya. Pemerintah juga belum berencana untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan tersebut dalam waktu dekat. Mengingat kondisi ketersediaan minyak goreng di pasar domestik saat ini masih mencukupi dengan tingkat harga yang stabil dan terjangkau oleh masyarakat.
"Jadi informasi lain di luar ketentuan tersebut adalah hoaks dan tidak benar,” kata Didi.
Aturan mengenai hak kuota ekspor CPO diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 18 Tahun 2022 Tentang Penerapan Rasio Pengali sebagai Dasar Penetapan Hak Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, And Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, And Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Beleid tersebut telah berlaku sejak 1 November 2022.
Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 18 Tahun 2022 itu merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, And Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, And Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil.
Selanjutnya: Asosiasi pengusaha sawit masih tidak setuju dengan kebijakan DMO karena ...
<!--more-->
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga sempat menyatakan bahwa pengusaha sawit yang tergabung dalam asosiasi masih tidak setuju dengan kebijakan pemenuhan kebutuhan domestik atau DMO.
"Karena kompleks, tidak cocok untuk jenis migor (minyak goreng). Beda dengan batubara gampang dikontrol," ujar Sahat saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat pada 11 November 2022.
Ia menjelaskan aturan DMO dapat diterapkan pada komoditas batubara karena hanya ada satu pemain lokal, yakni PT PLN (Persero), sehingga mudah ditelusuri jejaknya. Sementara pemain komoditas sawit jumlahnya mencapai ratusan, jadi menurut Sahat akan sangat kompleks.
Sahat pun menilai kebijakan DMO diskriminatif, sebab hanya pengusaha besar yang bisa menikmati manfaatnya. Sedangkan pengusaha lokal menurutnya akan sangat terbebani. "Maka kami sarankan totally dicabut dan diganti dengan skema insentif," kata dia.
Ombudsman RI pun telah merekomendasikan pada Kemendag untuk segera mencabut aturan DMO produk sawit atau crude palm oil (CPO). Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika menilai kebijakan DMO bukan hal yang solutif dalam memecahkan sengkarut industri minyak goreng saat ini.
Adapun kekhawatiran soal kelangkaan minyak goreng jika DMO dicabut, menurut Yeka pemerintah perlu melaksanakan distribusi minyak goreng melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, menurutnya minyak goreng adalah barang kebutuhan pokok yang diproduksi secara massal dan ketersediaannya menyangkut hajat hidup orang banyak.
Sehingga kebijakan pemerintah dalam rangka penyediaan dan stabilisasi harga komoditas minyak goreng merupakan pelayanan publik yang menjadi misi negara sebagaimana ketentuan Pasal 5 huruf c Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
RIANI SANUSI PUTRI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini