Jumat Besok, Puluhan Ribu Buruh Akan Demo di Depan Kemnaker Tuntut Upah Naik dan Tolak PHK
Reporter
magang_merdeka
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 2 November 2022 19:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan ribu buruh se-Jabodetabek akan menggelar demonstrasi di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada hari Jumat, 4 November 2022. Mereka yang berasal dari perwakilan dari Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia itu akan menyuarakan tiga tuntutan dalam unjuk rasa tersebut.
Ketiga tuntutan itu adalah mendesak kenaikan UMK 2023 sebesar 13 persen, menolak pemutusan hubungan kerja atau PHK dengan dalih resesi, dan menolak penerapan Omnibus Law.
"Jika tidak ada respons dan kenaikan upah masih di bawah inflasi, akan ada mogok nasional," ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers virtual, Rabu 2 November 2022.
Baca: Cegah PHK, Pengusaha Minta Importir Tekstil Ilegal Ditindak dan Pasar Ekspor Baru Digenjot
Ia menjelaskan, demonstrasi juga serentak akan dilakukan di beberapa kota yang merupakan basis industri seperti Bandung, Banten, Surabaya dan kota-kota lainnya.
Dalam kesempatan itu, Said membeberkan fakta-fakta yang dimiliki Partai Buruh dan KSPI bahwa tidak ada PHK terhadap 45 ribu buruh garmen dan tekstil sebagaimana yang disebut oleh kalangan pengusaha.
Selain itu, ia menyangkal adanya gelombang PHK di sektor otomotif. "Itu bohong, karena 70 persen perusahaan otomotif adalah anggota FSPMI. Kami melihat tidak ada PHK itu," ujar Said.
Said juga meminta kepada para menteri untuk tidak menakut-nakuti rakyat dan menjadi provokator bahwa tahun 2023 perekonomian akan gelap dan bakal terjadi resesi global akan menjalar ke Indonesia.
Selanjutnya: Narasi resesi global sangat merugikan buruh karena ...
<!--more-->
Narasi-narasi seperti itu, kata Said, akan sangat merugikan buruh. Sebab, para pengusaha memanfaatkan situasi seperti saat ini untuk tidak menaikan upah dan melakukan PHK dengan memberi pesangon murah dan menggantinya dengan buruh outsourcing.
Yang juga penting, menurut Said, adalah pemerintah agar menetapkan kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Perhitungan itu dinilai lebih adil ketimbang menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Pasalnya, dalam PP kenaikan UMP dilakukan dengan rumus batas atas dan bawah upah minimum wilayah bersangkutan. "Kami menolak PP 36 yang merupakan aturan turunan dari mnibus law yang sudah dinyatakan MK cacat formil. Oleh karena itu harus menggunakan PP 78," tutur Said.
Kondisi buruh, menurut Said, sangat mengenaskan saat ini, terutama karena kenaikan BBM yang memukul daya beli buruh jeblok hingga 30 persen. Apalagi sektor yang paling banyak dikonsumsi buruh harganya melonjak tinggi. Seperti makanan minuman, transportasi, dan tempat tinggal.
"Inflansi Januari hingga Desember diperkirakan sebesar 6,5 persen. Ditambah pertumbuhan ekonomi, prediksi Litbang Partai Buruh 4,9 persen. Jika di jumlah, nilainya 11,4 persen. Sehingga kenaikan upah yang kami minta adalah 13 persen," ucap Said.
Terakhir, kata dia, kalangan buruh tetap menolak omnibus law untuk diterapkan karena banyak pasal dari Undang-undang Cipta Kerja tersebut yang merugikan kaum buruh. Said pun berharap Presiden Jokowi bisa mengeluarkan Perpu untuk membatalkan omnibus law tersebut.
NABILA NURSHAFIRA
Baca juga: 64 Ribu Karyawan Industri Tekstil Kena PHK, Pengusaha: Lebih Parah dari Saat Covid-19
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.