Rupiah Menguat Tipis ke 15.124 per Dolar AS, Analis: Prediksi Resesi Picu Kenaikan Suku Bunga
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 27 September 2022 18:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada sore hari ini, Selasa, 27 September 2022, berakhir menguat terhadap dolar AS. Tak hanya rupiah, sejumlah mata uang lain di kawasan Asia juga ditutup menguat.
Data Bloomberg menunjukkan rupiah ditutup naik 0,04 persen atau 5,5 poin ke posisi Rp 15.124 per dolar AS. Indeks dolar AS pada pukul 15.10 WIB terpantau melemah 0,56 poin atau 0,49 persen ke level 113,54.
Sejumlah mata uang lain di kawasan Asia pun terpantau menguat terhadap dolar AS. Beberapa mata uang itu adalah won Korea Selatan yang menguat 0,61 persen, dolar Taiwan 0,42 persen, yen Jepang 0,30 persen, rupee India 0,25 persen, dolar Singapura 0,24 persen, dan baht Thailand 0,17 persen.
Sedangkan mata uang kawasan Asia yang melemah adalah yuan Cina yang turun 0,28 persen, ringgit Malaysia 0,16 persen, dan peso Filipina 0,06 persen. Sementara mata uang dolar Hong Kong stagnan pada perdagangan hari ini.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan indeks dolar sedikit menurun usai menembus rekor tertinggi selama 20 tahun terakhir pada perdagangan Senin kemarin, 26 September 2022.
Ia menilai kenaikan suku bunga juga mendorong permintaan safe haven greenback yang membantu dolar sebagai pembelian safe haven pilihan tahun ini. Para pelaku pasar kini berfokus pada pidato Gubernur Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell.
Pidato Powell disebut-sebut bakal memberi sinyal lebih lanjut terkait kebijakan moneter AS. Sebelumnya, pada pekan lalu, ia telah memberi sinyal hawkish selama pertemuan The Fed.
Selanjutnya: Perlambatan Cina juga turut mempengaruhi sentimen pasar di Asia.
<!--more-->
Selain faktor eksternal dari Amerika Serikat, menurut Ibrahim, perlambatan perekonomian Cina tahun ini juga ikut mempengaruhi sentimen terhadap pasar di Asia. Pasalnya, status Cina sebagai pusat perdagangan utama di kawasan Asia.
"Tetapi pertumbuhan di negara itu dapat membaik di sisa tahun ini dengan pencabutan pembatasan Covid dan langkah-langkah stimulus baru dari pemerintah," kata Ibrahim dalam risetnya.
Adapun proyeksi akan terjadinya resesi pada tahun 2023, menurut dia, turut mendorong ekspektasi inflasi di sejumlah negara. Hal ini pula yang memicu negara-negara maju mengerek suku bunga acuan dan memperketat likuiditasnya.
Resesi diprediksi terjadi lantaran tingginya harga pangan dan energi di beberapa negara baik Eropa maupun AS. "Kebijakan tersebut akan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dunia, sehingga negara berkembang pun akan merasakan efek dari kenaikan suku bunga itu," kata Ibrahim.
Lebih jauh, Ibrahim menilai jika bank sentral seluruh dunia kompak menaikan suku bunga secara ekstrim, maka resesi sulit dihindari. Sebab, pertumbuhan negara-negara maju cukup cepat dan ekstrim sehingga turut memukul pertumbuhan negara berkembang.
BISNIS
Baca: Cerita Arcandra Tahar Soal Alur Pembentukan Harga BBM, Produksi Seperti Membuat Rendang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.