Gaduh Harga BBM Naik Picu Fenomena Panic Buying, Benarkah Panik?
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 1 September 2022 11:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Beberapa hari terakhir, kabar harga BBM naik terus menguat.
Presiden Jokowi dikabarkan akan mendongkrak harga BBM awal September 2022 ini. Informasi itu langsung mendorong masyarakat di banyak daerah mengalami, apa yang disebut dengan "panic buying".
Antrean panjang salah satunya terjadi di hampir semua SPBU di Kota Padang, Sumatera Barat, pada Rabu, 31 Agustus 2022 hingga tengah malam. Juga di Surabaya, Kudus dan beberapa kawasan DKI Jakarta.
Apa itu Panic Buying? Ternyata Tak Tepat
Dalam kajian sosiologi, sebagaimana diungkapkan sosiolog Pamela Oliver, panic buying atau beli panik merupakan bentuk perilaku kolektif yang terjadi di masyarakat. Perilaku yang dilakukan secara bersama-sama atau beramai-ramai ini biasanya terjadi secara tiba-tiba dan cenderung tidak sesuai norma.
Sementara ditinjau dari segi psikologi, panic buying dipengaruhi oleh faktor tertentu yang menyebabkan kejiwaan individu kolektif atau masyarakat merasa panik, sehingga terdorong untuk membeli sesuatu.
Peneliti dari Departemen Ilmu Manajemen, Universitas Kota Hong Kong, Biying Shou dan kawan-kawan mengungkapkan, panic buying dapat dijelaskan sebagai perilaku konsumen berupa tindakan membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa depan.
Perilaku ini juga disebut sebagai perilaku penimbunan barang oleh konsumen. Shou secara implisit merefleksikan panic buying dengan perbedaan antara jumlah barang dan permintaan yang mendasarinya.
Artinya, perilaku panic buying timbul akibat terbatasnya jumlah barang dan banyaknya permintaan. Akibatnya, masyarakat kemudian berbondong-bondong memborong barang di pasaran. Namun perlu digarisbawahi, menurut Shou fenomena panic buying bukan disebabkan oleh naiknya harga, tetapi karena prediksi kelangkaan stok barang di masa mendatang.
Sehingga masyarakat membeli dalam jumlah banyak untuk disimpan dalam upaya mengantisipasi kelangkaan barang tersebut.
Selain panic buying, ada pula fenomena buying frenzies. Kedua fenomena ini mirip, yaitu masyarakat sama-sama kebut belanja karena faktor terbatasnya jumlah barang dan tingginya permintaan. Tetapi, bila panic buying disebabkan oleh faktor kelangkaan barang di masa mendatang, buying frenzies lebih cenderung karena faktor kenaikan harga akibat kelangkaan tersebut. Dalam fenomena buying frenzies, masyarakat cenderung membeli barang dengan tujuan mengantisipasi kenaikan harga, sebagaimana diungkapkan oleh ekonom Pascal Courty.
Muhammad Abdan Shadiqi dan kawan-kawan di publikasi Panic Buying pada Pandemi COVID-19: Telaah Literatur dari Perspektif Psikologi dalam jps.ui.ac.id, menyebutkan buying frenzies membuat orang berani membeli dengan harga yang lebih mahal karena ketidakjelasan penilaian suatu barang. Sebagai contoh, pada fenomena wabah COVID-19, orang-orang membeli masker karena dilanda kekhawatiran akan habisnya stok masker, ini disebut dengan panic buying.
Sedangkan buying frenzies terjadi karena orang khawatir akan harga masker yang semakin tidak masuk akal, sehingga membeli secara banyak dan berani membeli dengan harga berapa pun di pasaran. Jika ditinjau dari persepsi tersebut, fenomena masyarakat berbondong-bondong mengisi tangki akibat kabar harga BBM naik sepekan ini sebenarnya lebih cenderung mengindikasikan fenomena buying frenzies daripada panic buying.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Harga BBM Naik Segera? Ini Jenis-jenis Biosolar dan Proses Pembuatannya