Maskapai Masih Butuh Insentif, INACA: Tak Ada Tuslah, Pemulihan Terganggu
Reporter
Arrijal Rachman
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 8 Agustus 2022 10:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Maskapai penerbangan saat ini masih membutuhkan berbagai insentif dari pemerintah, utamanya karena proses pemulihan ekonomi masih berlangsung. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association atau INACA Denon Prawiraatmadja.
Oleh sebab itu, menurut Denon, relaksasi dari sisi komponen biaya operasional yang telah diberikan pemerintah melalui pembebasan tarif Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U) hingga naiknya biaya tambahan (tuslah) terhadap tarif penumpang turut memengaruhi proses pemulihan.
"Itu dampaknya adalah ke percepatan recovery atau perlambatan recovery," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan itu saat dihubungi Ahad, 7 Agustus 2022.
Apalagi, dia melanjutkan, selama pandemi Covid-19 berlangsung, industri penerbangan juga paling terdampak. Hal tersebut diperparah dengan masih adanya kewajiban-kewajiban maskapai penerbangan yang juga belum dibayarkan, terutama yang masuk ke dalam komponen biaya operasional pesawat.
"Dari operasional maskapai, 60 persen biaya untuk leasing dan biaya avtur. Kalau kita lihat dua tahun belakangan, 2020, 2021, itu kan ada pembayaran tertunda, yang tentu harus menjadi pekerjaan rumah masing-masing maskapai menyelesaikan," kata Denon.
Di sisi lain, dia melanjutkan, jumlah kapasitas pesawat maskapai penerbangan juga belum sepenuhnya pulih. Oleh sebab itu, agar armada pesawat bisa pulih dari saat ini hanya sekitar 40 persennya dari total kapasitas pada sebelum 2019, perlu berbagai insentif.
Untuk insentif pembebasan tarif pemerimaan negara bukan pajak dari biaya jasa PJP4U pada Unit Pelaksana Bandar Udara (UPBU) pemerintah misalnya, kata Denon, turut memengaruhi komponen biaya tiket pesawat supaya bisa lebih murah. Ini katanya tentu akan mendorong gairah konsumsi masyarakat di sektor industri pesawat terbang.
<!--more-->
"Itu kan upaya pemerintah supaya bisa meyesuaikan dengan rute yang ada di bandara-bandara UPBU tapi kalau yang ada di BUBU (Badan Usaha Bandar Udara), itu kan ya Angkasa Pura I dan II juga kan perusahaan dia, juga harus survive," kata Denon.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan juga telah mengizinkan maskapai penerbangan jenis jet untuk menaikkan tarif tambahan tiket pesawat (tuslah) hingga maksimal 15 persen dari tarif batas atas (TBA). Aturan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 142 Tahun 2022 yang berlaku mulai 4 Agustus 2022.
Kenaikan tarif ini merupakan biaya tambahan atau tuslah akibat melonjaknya harga bahan bakar pesawat (avtur) alias fuel surcharge. Selain untuk maskapai jenis jet, Kementerian Perhubungan mengizinkan maskapai propeler menaikkan fuel surcharge-nya sebesar 25 persen.
Persentase tuslah ini meningkat dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya. Merujuk pada kebijakan lalu, maksimal tuslah yang dapat diterapkan oleh pesawat jet adalah 10 persen dan propeler 25 persen. Artinya, ada kenaikan masing-masing 5 persen untuk tuslah.
Penerapan pengenaan biaya tambahan atau tuslah bersifat pilihan alias opsional bagi maskapai. Kementerian Perhubungan melakukan evaluasi penerapan biaya tambahan setiap tiga bulan.
“Sebagai regulator, kami perlu menetapkan kebijakan ini agar maskapai mempunyai pedoman dalam menerapkan tarif penumpang," ujar Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubunan Nur Isnin Istiartono dalam keterangannya seperti dikutip pada Ahad, 7 Agustus 2022.
ARRIJAL RACHMAN | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca: Setahun Ambil Alih Blok Rokan dari Chevron, Pertamina Mengebor 376 Sumur Baru
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.