Tanggapi Tudingan Pasal Langgar HAM, Kominfo: Aparat Harus Masuk ke Sistem untuk ...
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 19 Juli 2022 15:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan memastikan aturan mewajibkan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi, tetapi untuk menindak pelanggaran.
Ia menyatakan aturan tersebut tak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga di negara lain. Selain itu, sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, bertujuan untuk menindak perusahaan yang melakukan tindak kejahatan.
“Aturan ini untuk menindak perusahaan ilegal seperti Binomo atau DNA Robot. Aparat harus masuk ke sistemnya karena sistem mereka melakukan kejahatan,” kata Semuel saat konferensi pers, Selasa, 19 Juli 2022.
Dasar aturan yang dipakai yakni Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, ditujukan terhadap PSE yang melanggar atau melakukan kejahatan. Dengan begitu, kepolisian memerlukan akses langsung ke mereka. Hal tersebut pun merupakan aturan internasional.
“Kalau ada kejahatan Kominfo perlu tahu, polisi perlu tahu, kita verifikasi datanya. Berarti kan sudah ada kasusnya, tidak bisa tiba-tiba tidak ada kasus ke platform minta nomornya,” katanya.
Terkait pasal yang melarang konten yang mengganggu ketertiban umum, Semuel menyebutkan, aturan ini untuk mengawasi konten yang bisa memecah masyarakat, misalnya penisataan agama. “Dulu kami pernah menghubungi Google untuk memastikan konten ini tidak bisa diakses di Indonesia,” katanya.
Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, sebelumnya dalam keterangan resmi pada 24 Juni 2022 lalu menilai pasal-pasal dalam Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tersebut berpotensi melanggar HAM dan mengekang kebebasan berpendapat.
<!--more-->
Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 dari aturan itu, misalnya, memastikan agar pemilik platform tidak mencantum informasi-informasi yang sifatnya ‘dilarang’, maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya ‘dilarang’. Lebih jauh lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat ‘dilarang’ merupakan data yang digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Kami berpendapat bahwa pendefinisian ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik,” kata SAFEnet.
Selain itu, pasal 14 dari aturan itu memberikan kewenangan bagi kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum dan atau lembaga peradilan untuk memutus akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.
Selanjutnya, pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan ‘mendesak’ apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Bersamaan dengan pasal 9, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ dengan interpretasi yang luas.
Lalu pada pasal 36 dalam peraturan Kominfo itu juga memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. SAFEnet menilai ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua.
Baca: Istaka Karya Pailit, Staf Khusus Erick Thohir Sebut Karyawan Diserap BUMM Sejenis
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.