Sebut PMK Masuk RI Tahun 2015, Ombudsman Duga Kementan Lakukan Maladministrasi
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 14 Juli 2022 16:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menduga pemerintah dalam hal ini Badan Karantina Kementerian Pertanian melakukan maladministrasi dalam menangani wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak belakangan ini.
"Ombudsman berpandangan terdapat dugaan sangat kuat adanya maladministrasi yang dilakukan Badan Karantina dalam bentuk kelalaian dan pengabaian kewajiban dalam melakukan tindakan pencegahan setelah mengetahui adanya dugaan kuat telah terjadi infeksi PMK di beberapa daerah di Indonesia," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers, Kamis, 14 Juli 2022.
Merujuk Pasal 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Ombudsman menduga maladministrasi dilakukan Badan Karantina karena lalai melakukan pencegahan tersebut. Padahal, per tahun Badan Karantina Pertanian menghabiskan anggaran kurang lebih Rp 1 triliun.
Bahkan, kata Yeka, berdasarkan informasi dan dokumen yang dikumpulkan Ombudsman, PMK kembali masuk ke Indonesia pada tahun 2015. Namun informasi ini tidak disampaikan ke publik, atau ditutup-tutupi oleh pemerintah saat itu.
“Tidak sedikit uang rakyat digunakan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi Badan Karantina, namun demikian lembaga tersebut gagal dalam membendung pelbagai penyakit eksotik di wilayah Indonesia,” kata Yeka.
Ia menilai fungsi pengawasan Badan Karantina sangat lemah dan terbukti dari munculnya beberapa kasus wabah penyakit hewan ternak di Indonesia. Sejak akhir tahun 2019 sampai dengan Bulan Mei 2022, sudah ada 3 jenis penyakit eksotik masuk Indonesia dan menyebar di dalam negeri.
<!--more-->
Adanya tiga wabah penyakit itu ditunjukkan dari tiga keputusan Menteri Pertanian terkait. Pertama, Kepmentan No. 820 Tahun 2019 tentang Wabah Demam Babi Afrika (African
Swine Fever - ASF). Kedua, Kepmentan No 242 Tahun 2022 tentang wabah Penyakit Kulit Berbenjol (Lumphy Skin Disease - LSD). Ketiga, Kepmentan No 403 Tahun 2022, dan Kempentan No. 404 Tahun 2022 Tentang Wabah PMK di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Aceh.
Ketiga penyakit hewan menular tersebut yaitu ASF, LSD dan PMK, kata Yeka, adalah penyakit yang sangat merugikan industri peternakan di Indonesia. "Dalam waktu cepat sejak ditetapkannya wabah oleh Menteri penyakit tersebut menyebar ke provinsi lainnya dan pulau pulau lainnya," ucapnya.
Oleh karena itu, Ombudsman menyarankan Pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan dengan luar biasa dan tidak menolerir kelalaian Badan Karantina dalam memasukkan hewan dan produk hewan ke seluruh wilayah Indonesia.
Proses lalu lintas, menurut Yeka, seharusnya diperketat dengan kewaspadaan tinggi. Pemerintah pusat dan daerah juga harus memperkuat lembaga otoritas veteriner. "Alih alih diperkuat, banyak sekali pemerintah daerah yang menghapuskan Dinas Peternakan, dan tidak memiliki pejabat otoritas veteriner," kata Yeka.
Ketika dikonfirmasi, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah mengaku tak tahu sama sekali mengenai temuan Ombudsman soal masuknya PMK ke Indonesia pada tahun 2015.
"Kalau 2015 saya tidak tahu sama sekali kalau ada PMK. Logikanya kalau 2015 ada kasus PMK, maka sudah terjadi seperti saat ini. Karena virus PMK sangat cepat penyebarannya," ujar Nasrullah saat dihubungi, Kamis 14 Juli 2022.
Baca: Harga TBS Jeblok, Pengusaha Sawit: Sudah Banyak yang Konsultasi ke Rumah Sakit Jiwa
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.