Rupiah Kembali Loyo ke Level Rp 15 Ribu Akibat Hawkish The Fed
Reporter
Antara
Editor
Francisca Christy Rosana
Kamis, 7 Juli 2022 16:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sikap hawkish The Fed berpengaruh terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Pada penutupan perdagangan Kamis, 7 Juli 2022, mata uang garuda yang diperdagangkan kembali loyo ke level Rp 15.002 per dolar Amerika Serikat.
Posisi rupiah melemah dari perdagangan kemarin yang ditutup di posisi Rp 14.999 per dolar. "Dolar Amerika naik pasca-perilisan notula rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang hawkish pada hari Kamis lewat tengah malam tadi," kata tim riset Monex Investindo Futures seperti dikutip Antara, Kamis.
Bank Sentral Amerika berencana menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sampai 75 basis poin pada Juli ini. Kebijakan tersebut sebagai langkah untuk menekan tingkat inflasi yang melonjak di Amerika.
Kebijakan The Fed dinilai yang paling hawkish ketimbang bank sentral lainnya, termasuk European Central Bank (ECB). ECB juga berencana meningkatkan suku bunga acuan, tetapi tidak seagresif kebijakan yang akan diambil oleh The Fed.
Dolar AS memanfaatkan kondisi safe haven-nya, mengungguli semua rival utamanya meskipun ada peningkatan kemungkinan kemunduran ekonomi di negara tersebut.
Adapun rupiah pada pagi hari dibuka menguat ke posisi Rp 14.987 per dolar Amerika. Sepanjang hari, rupiah bergerak di kisaran Rp 14.960 per hingga paling lemah Rp 15.008.
Sementara itu, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisrdor) Bank Indonesia pada Kamis menguat ke posisi Rp 14.986. Kemarin, kurs Jisdor berada di posisi Rp 15.015 per dolar Amerika.
<!--more-->
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan melemahnya mata uang rupiah terhadap dolar berisiko terhadap kenaikan non-performing loan (NPL) atau kredit macet di tingkat korporasi. Rasio NPL akan terkerek karena cashflow perusahaan terancam terganggu.
“Konglomerasi keuangan yang punya exposure terhadap risiko di luar negeri atau yang pasarnya di negara rentan terhadap resesi. Ini berpengaruh ke profitabilitas perusahaan,” ucap Bhima saat dihubungi pada Rabu, 6 Juli 2022.
Pelemahan rupiah menyebabkan beban utang luar negeri (ULN) perusahaan meningkat. Musababnya, pendapatan sebagian besar perusahaan diperoleh dalam bentuk rupiah, sedangkan bunga dan cicilan pokoknya berbentuk valas.
Kondisi currency missmatch ini menambah kerentanan kondisi keuangan perusahaan. Akibatnya, banyak debitur dari kelompok perusahaan yang akan meminta pemerintah memperpanjangan restrukturisasi pinjaman. Padahal, batas restrukturisasi seperti yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Maret 2023.
“Jadi kita harus waspada pembengkakan NPL dengan nilai tukar yang melemah,” ucap Bhima.
Selain peningkatan rasio NPL, korporasi akan menghadapi risiko penambahan biaya bahan baku, biaya modal, dan biaya operasional yang berpotensi mengalami kenaikan signifikan. Pada saat seperti ini, perusahaan biasanya akan melakukan efisiensi, seperti pemangkasan profit margin.
Kemudian, perusahaan juga akan mengurangi volume atau kapasitas produksi, bahkan melakukan penutupan unit bisnis sampai melakukan PHK karyawan. “Kalau melihat ini tekanan rupiah akan berlangsung lama, apalagi secara teknikal ini resesi yang panjang, artinya mungkin waktu yang tepat bagi perusahaan melakukan perombakan unit bisnis,” tutur Bhima.
ANTARA | FRANCISCA CHRISTY