Harga Bahan Pokok Meroket Berpotensi Kerek Angka Kemiskinan Tahun Ini
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 21 Januari 2022 17:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan kenaikan sejumlah tarif dan harga di 2022 berpotensi mengerek angka kemiskinan di Tanah Air.
Pasalnya, ia melihat stabilitas harga-harga kebutuhan bahan pokok mendapat tantangan kuat di 2022. Di samping itu, sederet kenaikan tarif dan harga juga telah mulai dirasakan masyarakat, seperti kenaikan harga gas elpiji non subsidi hingga kenaikan tarif cukai hasil tembakau.
“Semua hal tersebut berpotensi besar meningkatkan angka kemiskinan," ujar Yusuf dalam keterangan tertulis, Jumat, 21 Januari 2022.
Yusuf memberi contoh ketergantungan keluarga miskin pada rokok yang sangat besar. Hal tersebut juga semakin meningkat di masa pandemi.
"Dengan rokok adalah produk adiktif, tanpa upaya melepaskan keluarga miskin dari ketergantungan pada rokok, kenaikan tarif cukai berpotensi meningkatkan permasalahan kemiskinan,” kata Yusuf.
Secara umum, IDEAS melihat kinerja penanggulangan kemiskinan pada tahun 2022 juga akan menghadapi berbagai tantangan yang berat dan sumber dari ketidakpastian ekonomi terbesar masih datang dari pandemi, terutama seiring kehadiran varian Omicron.
“Kinerja penanggulangan kemiskinan 2022 akan banyak bergantung pada pengendalian pandemi varian Omicron, kualitas pemulihan ekonomi pasca pandemi serta kebijakan afirmatif kepada kelompok miskin, terutama stabilitas harga kebutuhan pokok dan program bantuan sosial,” kata Yusuf.
<!--more-->
Menurutnya berbagai kecenderungan terkini menunjukkan bahwa kondisi faktor-faktor tersebut tidak kondusif bagi penanggulangan kemiskinan.
Jika varian Omicron gagal dikendalikan dan meluas cepat ke penjuru negeri, Yusuf melihat intervensi non-farmasi akan kembali diadopsi untuk menurunkan beban sistem kesehatan dan menekan angka kematian. "Hal tersebut memiliki konsekuensi kerusakan ekonomi yang besar dan berkepanjangan,” ujar Yusuf.
Andai pun pandemi terkendali, kata dia, pemulihan ekonomi tidak otomatis segera mengangkat kehidupan masyarakat miskin. Pemulihan ekonomi pasca pandemi memperlihatkan kecenderungan lebih berpihak pada kelompok atas sehingga dampak pertumbuhan pada kemiskinan sangat rendah.
“Kita membutukan pemulihan di mana sektor penyerap tenaga kerja besar tumbuh lebih cepat, sehingga manfaat pertumbuhan akan lebih dirasakan kelompok bawah,” tutur Yusuf.
Penanggulangan kemiskinan yang semakin progresif di masa pandemi juga membutuhkan perlindungan sosial yang lebih efektif. IDEAS tidak melihat adanya terobosan besar disini, bahkan sebaliknya.
Ketika pandemi belum menunjukkan tanda-tanda berakhir, kata Yusuf, alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) justru semakin menurun.
"Bila pada 2020 realisasi anggaran PEN Perlinsos mencapai Rp 216,6 triliun, maka pada APBN 2021 alokasinya turun menjadi Rp 184,5 triliun, dan terkini pada RAPBN 2022 hanya direncanakan Rp 153,7 triliun,” ungkap Yusuf.
Dia menegaskan bahwa dibutuhkan penguatan perlindungan sosial yang lebih luas selama pandemi belum berakhir.
CAESAR AKBAR
BACA: IDEAS Soroti Angka Kemiskinan Turun, tapi Pengangguran Bertambah Jadi 9,1 Juta