Sebaiknya Negara Kembangkan SDA atau SDM Dulu? Ini Kata Arcandra Tahar
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 8 September 2021 17:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar membahas mengenai strategi pengembangan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Menurut dia, seringkali muncul pertanyaan menggelitik yang kadang sulit dicari jawabannya.
"Mana yang lebih dulu dikembangkan, apakah sumber daya alam (SDA) atau sumber daya manusia (SDM)? Mana yang akan menjamin kesejahteraan penduduk suatu negara, punya sumber daya alam yang melimpah atau punya sumber daya manusia yang mumpuni?" ujar Arcandra dalam unggahan di akun instagram @arcandra.tahar, Selasa, 8 September 2021.
Menurut dia, SDA adalah anugerah dari yang Maha Kuasa yang tidak bisa diciptakan dan juga tidak bisa ditambah atau dikurangi sekehendak manusia. Musababnya, SDA ada sejak alam semesta ini diciptakan.
"Ada negara yang beruntung punya SDA yang berlimpah tapi ada juga yang miskin. Ketidaksamaan dalam memiliki SDA menjadi salah satu faktor terjadinya kolonisasi pada abad ke 16 sampai pertengahan abad 20," ujar Arcandra.
Umumnya, kata Arcandra, negara yang miskin SDA kemungkinan besar punya SDM yang mumpuni. Sebaliknya, negara yang kaya SDA kemungkinan besar kurang memiliki SDM yang unggul. Ia lantas menyebut Jepang, Singapura, dan beberapa negara Eropa Barat sebagai negara yang miskin SDA, namun kaya SDM.
Sementara itu, negara-negara di Amerika Selatan dan Timur tengah adalah contoh negara yang kaya SDA tapi punya SDM yang tidak sebaik negara Eropa Barat. Namun, ia mengatakan ada pula negara yang kaya akan SDA, namun juga memiliki SDM unggul, misalnya Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Tidak saja kaya minyak, gas bumi dan mineral, mereka juga termasuk negara yang banyak menghasilkan inovasi di dunia.
Menurut dia, ada perilaku dari tiga jenis negara tersebut yang patut dicermati dan bisa menjadi bahan pelajaran ke depannya. Pertama, negara yang kaya SDA tapi miskin SDM umumnya kurang fokus dalam pengembangan Science, Technology, Engineering dan Math (STEM).
"Penambahan rantai pengolahan (hilirisasi) bahan baku yang mereka punya sangat minim. Hal ini tercermin dari sedikitnya industri petrochemical, smelter dan industri turunannya yang dibangun di negara tersebut," kata Arcandra.
<!--more-->
Jalan pintas untuk mendapatkan bagian negara dilakukan lewat menjual bahan baku tersebut kepada negara yang kaya SDM. Pendapatan negara ini pun, kata dia, lebih banyak dialokasikan untuk barang konsumsi bukan barang produksi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara jenis ini diperoleh dengan naiknya belanja pemerintah serta bukan lewat pengembangan produk dan teknologi.
Kedua, negara yang miskin SDA tapi kaya SDM umumnya fokus pada pengembangan STEM. Bahan baku dari negara yang kaya SDA mereka olah menjadi produk yang bernilai tinggi yang pada akhirnya dijual kembali ke negara asal bahan baku tersebut. Peningkatan nilai tambah lewat inovasi dan teknologi menjadi kunci pertumbuhan ekonomi negara-negara yang masuk dalam kategori ini.
Arcandra menilai negara jenis tersebut sadar bahwa dengan minimnya SDA, mereka harus bekerja ekstra keras agar rakyatnya bisa hidup dengan layak. Ini terbukti dengan banyak industri teknologi tinggi yang tumbuh di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.
Ketiga, negara yang kaya SDA dan SDM akan mengambil, mengolah dan menjadikan produk yang bernilai tinggi dengan kekuatan modal yang mereka punyai. Dengan teknologi dan SDM unggul yang tersedia, kata dia, negara-negara tersebut akan melakukan ekspansi bisnis dan politik ke negara-negara yang kaya SDA tapi miskin SDM.
Arcandra lantas menyoroti dampak pandemi kepada tiga jenis negara tersebut. Ia mengatakan negara yang kaya SDA tapi miskin SDM umumnya mengalami perlambatan ekonomi yang tidak begitu dalam. Sebab, yang banyak terkena dampak adalah sektor konsumsi bukan produksi. "Namun demikian, sewaktu pandemi mulai terkendali, pertumbuhan ekonomi kelihatannya juga tidak bisa signifikan," ujar Arcandra.
Sebaliknya, negara yang kaya SDM umumnya mengalami perlambatan ekonomi yang sangat dalam karena sektor produksi yang paling parah terkena dampaknya. Namun demikian, sewaktu pandemi mulai terkendali, pertumbuhan ekonominya akan sangat signifikan.
"Ibarat warung soto betawi, kalau yang sakit adalah tukang masak utamanya, kemungkinan besar omset warung tersebut bisa turun banyak. Saat si tukang masak pulih maka omset akan normal kembali atau bahkan meningkat," tulis Arcandra Tahar. "Semoga kita bisa belajar dari strategi pengembangan SDA dari beberapa negara yang disebutkan di atas."
Baca: Jumlah Penumpang di 15 Bandara Bakal Jeblok jadi 24,8 Juta di Akhir Tahun 2021