Sri Mulyani Berkomitmen Tekan Utang dan Bunga: Kebijakan Extraordinary Dilakukan
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 24 Agustus 2021 20:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah pusat terus berupaya menekan peningkatan utang dan beban bunganya. Untuk itu, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah dan bekerja sama dengan para pemegang kebijakan lainnya.
“Berbagai kebijakan extraordinary yang dilakukan, termasuk kerja sama dengan Bank Indonesia, merupakan langkah-langkah yang akan terus dilakukan secara proper,” kata Sri Mulyani pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 di DPR RI, Selasa, 24 Agustust 2021.
Hal ini menjawab pandangan fraksi DPR sebelumnya tentang utang pemerintah. Lebih jauh, Sri Mulyani memaparkan salah satu kerja sama yang dilakukan adalah dengan bank sentral. Berbekal Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan II yang berjalan sampai akhir 2020 di antaranya, kerja sama itu berhasil menekan turunnya yield Surat Utang negara (SUN) 10 tahun dari 8,3 persen pada Maret 2020, menjadi 5,9 persen pada akhir 2020.
Selain itu, melalui peran BI sebagai standby buyer SBN di pasar perdana, peran bank sentral sangat penting untuk menjaga stabilitas pasar obligasi dan menjaga integritas pasar negara. Sementara melalui mekanisme burden sharing, BI juga menanggung beban utang pengendalian pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional.
Yang teranyar, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI kemarin, Senin, 23 Agustus 2021, telah menetapkan SKB III. Tujuannya, untuk memperkuat kerja sama dalam pembiayaan sektor kesehatan dan kemanusiaan selama pandemi Covid-19.
<!--more-->
Penetapan SKB baru itu menggunakan landasan hukum yang sama dengan SKB I dan II yang mulai berlaku di 2020 yaitu Undang-Undang (UU) No. 2/2020, UU Bank Indonesia, UU mengenai Surat Utang Negara, dan UU mengenai Surat Berharga Syariah Negara.
Sementara itu, Sri Mulyani juga menegaskan bahwa defisit APBN Indonesia 2020 sebesar 6,1 dari terhadap PDB relatif masih lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara lain. Ia mencontohkan negara seperti India yang mengalami defisit sebesar 12,3 persen, Cina defisit 11,4 persen, Jepang, 12,6 persen, Inggris 13,4 persen, dan Amerika Serikat (AS) 15,8 persen, terhadap PDB masing-masing negara.
Sedangkan defisit APBN di Indonesia, seperti halnya di negara lain, memicu kenaikan rasio utang di 2020. Rasio utang Indonesia naik 9,2 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 39,4 persen, dibandingkan dengan 2019. Meski begitu, angka tersebut dinilai masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Sri Mulyani lalu mencontohkan India memiliki kenaikan rasio utang sebesar 15,7 persen (yoy) menjadi 89,6 persen di 2020; Cina naik 9,8 persen (yoy) menjadi 66,8 persen; Jepang naik 21,4 persen (yoy) menjadi 256,2 persen; Inggris naik 18,4 persen (yoy) menjadi 103,7 persen; AS naik 18,9 persen (yoy) menjadi 127,1 persen.
"Indonesia yang naik 9,2 persen dan rasio utangnya 39,4 persen, maka kita masih termasuk dalam kategori negara yang berhati-hati dan pruden dalam mengelola APBN," kata Sri Mulyani. "Bahkan dalam situasi shock yang luar biasa."
BISNIS
Baca: China Sonangol Bantah Klaim Surya Paloh di Kisruh Pembangunan Gedung Ini