Nelayan Cerita Minimnya Akses ke Lembaga Keuangan di Pulau-pulau Kecil Natuna
Reporter
Yogi Eka Sahputra
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 26 Juni 2021 20:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dedi masih ingat betul ketika akhir tahun lalu setelah terombang-ambing di lautan, akhirnya singgah di Pulau Laut Natuna. Nelayan asli Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, berusia 45 tahun tersebut sangat kalut karena harus menghentikan kegiatan melaut akibat cuaca angin utara sedang mengamuk saat itu.
“Kami berteduh sampai satu minggu di pulau itu,” kata Dedi kepada Tempo, pada medio Mei 2021 lalu.
Seminggu berlalu tanpa kejelasan. Waktu yang tidak sebentar dalam menunggu cuaca lebih bersahabat itu kemudian membuat Dedi dan para nelayan lain kehabisan stok es batu untuk menyimpan ikan hasil tangkapannya.
Mereka lalu kebingungan karena tak memiliki uang sepeser pun untuk membeli es batu di pulau tersebut. Beruntung, saat itu Dedi bertemu dengan tauke, atau orang kaya di pulau tersebut yang menawarkan fasilitas penarikan dana tunai.
Caranya cukup mudah. Untuk mendapatkan uang tunai Rp 1 juta misalnya, peminjam diharuskan membayar bunga sekitar Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu saat mengembalikan uang yang dipinjam. Praktik ini lazim dilakukan oleh kebanyakan nelayan di Pulau Natuna.
Hal serupa disampaikan oleh Rahmad Wijaya. Nelayan asal Ranai, Natuna, ini selalu berhubungan dengan tauke bila terdampar di sebuan pulau untuk mengindari angin utara di perairan Natuna.
“Saya juga pernah seperti itu. Mau bagaimana lagi? Di sana tidak ada pelayanan bank,” ujar pria 35 tahun itu ketika dihubungi belum lama ini.
Tauke sangat ‘berjasa’ di daerah tersebut tidak hanya karena selalu siap memberi pinjaman ke nelayan yang membutuhkan, tapi juga gampang memberi modal kapal untuk melaut misalnya. Nelayan yang membutuhkan, juga bisa menghubungi tauke dan segera mendapatkan pinjaman modal kerja.
Tak butuh waktu lama, kesepakatan dicapai tanpa harus berbelit menyiapkan dokumen persyaratan. Nelayan boleh membayar kembali pinjaman tersebut dengan cara dicicil, syaratnya hasil tangkapan dari melaut dijual ke tauke tersebut. “Pinjaman sama sekali tidak pakai bunga, karena tauke sudah untung sebagai penampung ikan,” ucap Rahmad.
Meski begitu, menurut dia, kredit yang diberikan tauke dalam jangka panjang malah menjadi bom waktu tersendiri bagi para nelayan. “Karena sifatnya tanpa bunga, para nelayan tak termotivasi untuk lebih produktif. Padahal kalau dihitung-hitung, nelayan sebetulnya bisa lebih produktif dan mendapat keuntungan lebih jika meminjam ke perbankan,” ucap Rahmad.
<!--more-->
Ia pribadi mengaku tak pernah meminjam uang dari tauke untuk keperluan modal kerja karena akad perjanjiannya tidak jelas. “Tidak ada hitam di atas putih. Kalau ada apa-apa di masa mendatang, tidak ada bukti yang sah. Saya lebih pilih ambil kredit di bank, misalnya KUR dari pemerintah.”
Saat ini jumlah tauke tumbuh subur di Natuna. Pasalnya, akses pelayan keuangan formal masih belum merata di beberapa pulau kecil terluar, seperi di Pulau Laut ataupun Pulau Subi, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Sosialisasi akses perbankan juga belum optimal menyentuh sebagian besar warga Natuna. “Pulau-pulau jauh itu nampak sekali ketertinggalannya,” ucap Rahmad.
Padahal, menurut Rahmad, prosedur mendapatkan kredit dari bank sangatlah gampang. Masyarakat hanya menyediakan dokumen seperti kartu keluarga dan KTP, setelah itu pihak bank yang akan jemput bola dan bersifat proaktif.
Selain karena minim sosialisasi yang diberikan, faktor jarak yang cukup jauh juga membuat warga sulit mengajukan KUR ke perbankan. “Tidak mungkin nelayan sebulan sekali datang ke Kota Ranai, Natuna, untuk bayar KUR. Jaraknya cukup jauh,” kata Rahmad.
Belum meratanya pelayanan keuangan formal di beberapa daerah juga dibenarkan oleh Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna (ANN). Walau sebetulnya, dibanding beberapa tahun sebelumnya, keberadaan perbankan di Natuna sudah mulai membaik.
Tetapi ia menyebutkan bank memang belum bisa menjangkau masyarakat pulau-pulau terluar. “Mungkin perbankan tidak ada di Pulau Laut karena jarak yang jauh dari pusat kota,” kata Hendri.
Menurut Hendri, pemerintah daerah seharusnya menghadirkan sejumlah solusi, misalnya dengan mendirikan Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga ini akan dikelola oleh pemerintah daerah setempat dengan sistem perbankan. “Ide ini sudah saya usulkan sejak 2002 lalu, tetapi tidak ada realisasi,” katanya.
Lembaga tersebut nantinya tidak hanya melakukan pembiayaan tetapi juga simpan pinjam untuk masyarakat pulau. “Kalau Pemda yang mengelola tentu bunga bisa kecil, dengan menekan biaya operasional,” kata Hendri.
Sementara itu, Dosen Ekonomi Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Firdaus Hamta mengatakan, permasalahan akses keuangan atau inklusi keuangan nelayan Natuna harus segera dipecahkan. Pasalnya, kendala akses terbilang sudah komprehensif, mulai dari minimnya fasilitas dan aksesibilitas fasilitas perbankan, begitu juga kebiasaan masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lembaga non formal yang sudah mendarah daging.
“Belum lagi minimnya kapasitas produksi dan penghasilan nelayan yang belum maksimal untuk mengakses modal cicilan bulanan,” kata Firdaus.
<!--more-->
Selama ini, menurut Firdaus, kebanyakan nelayan lebih memilih lembaga keuangan tidak resmi karena prosesnya lebih mudah ketimbang lembaga keuangan formal. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah daerah dan lembaga perbankan lewat regulasi yang simpel dan tak makan banyak waktu.
“Termasuk dengan sosialisasi yang bagus untuk masyarakat pesisir, agar mereka tidak terus terjebak bertransaksi keuangan dengan lembaga non formal,” ucap Firdaus.
Adapun Kepala Tim Implementasi Kebijakan Ekonomi dan Keuangan Daerah Bank Indonesia (BI) Kepri Mualam Nur menilai tingkat inklusi keuangan masyarakat Kepulauan Riau sudah termasuk tinggi, yaitu berada pada angka 92,13 persen. Tetapi, literasi keuangan daerah kepulauan masih rendah 45,67 persen.
Alam menjelaskan tingginya tingkat inklusi keuangan yang tidak dibarengi dengan literasi keuangan akhirnya tak terlalu berarti banyak. Karena pada akhirnya warga tak bisa mengoptimalkan akses ke lembaga keuangan.
Ia menduga tingginya tingkat inklusi keuangan di Kepulauan Riau karena masifnya program bansos non tunai pemerintah pusat ketika awal pandemi Covid-19. Bansos itu disalurkan ke rekening masyarakat, dengan begitu banyak masyarakat membuka tabungan rekening.
Tetapi, setelah rekening tabungan dibuka, tidak ada tindak lanjut aktivitas dari masyarakat karena minimnya pengetahuan keuangan atau literasi keuangan yang baik. “Setelah buka rekening, mereka tidak paham rekening itu mau diapain. Literasi pemahaman soal keuangan itu yang masih rendah di masyarakat,” kata Alam.
Padahal inklusi dan literasi keuangan yang tinggi sangat dibutuhkan agar warga bisa mandiri berupaya melawan kemiskinan dan kesenjangan sosial. “Hal itu juga ditekankan Bapak Presiden Joko Widodo kepada kita,” kata Alam.
Oleh karena itu, BI terus menggenjot sejumlah program khusus untuk nelayan, seperti mengadakan pelatihan lembaga keuangan nelayan yang terpusat di Batam. Namun sayangnya program serupa di pulau terluar seperti di Natuna memang belum ada.
Ia pun berharap, para pihak terkait lainnya bisa turut membantu kegiatan sosialisasi agar lebih meluas hingga ke daerah terpencil karena bank sentral tak mungkin bergerak sendirian dalam hal ini. Dengan begitu, tak ada lagi cerita nelayan seperti Dedi ataupun Rahmad yang kalut membutuhkan uang tunai di suatu pulau karena ke layanan jasa keuangan sudah begitu mudah diakses.
YOGI EKA SAHPUTRA
Baca: Bank Syariah Indonesia Fasilitasi Perbankan dan Jasa Keuangan Syariah MUI