Stafsus Erick Thohir Jawab Sorotan TII Soal Banyak Birokrasi Jadi Komisaris BUMN
Reporter
Muhammad Hendartyo
Editor
Kodrat Setiawan
Jumat, 18 Juni 2021 09:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri BUMN Erick Thohir, Arya Sinulingga, menanggapi sorotan Transparency International Indonesia soal banyaknya pejabat kementerian atau lembaga pemerintah yang menjadi komisaris Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.
Menurut Arya, BUMN dimiliki pemerintah. Karena itu, kata dia, pemerintah menempatkan komisaris sebagai perwakilan pemerintah yang merupakan pemegang saham BUMN. Peran komisaris itu untuk mengawasi BUMN.
"Nah fungsi pengawasan ini adalah bagian dari tugas sebagai yang diberikan kepada pemegang saham kepada para komisaris," kata Arya yang juga komisaris PT Telkom Indonesia saat dihubungi, Kamis, 18 Juni 2021.
"Kalau bukan dari pemerintah yang jadi komisaris, lalu dari siapa yang mewakili pemegang saham? Apakah mungkin komisaris independen? Artinya komisaris pemegang saham dari luar? Apa landasan dan apa dasarnya sampai orang luar bisa mewakili pemegang saham dalam hal ini adalah pemerintah?" kata Arya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko menyoroti penempatan pejabat kementerian sebagai komisaris BUMN. Dia mengatakan komisaris dari kalangan birokrasi ada 249 orang atau 51,66 persen dari 106 BUMN.
Menurut Danang, penempatan birokrasi sebagai komisaris BUMN bisa memicu konflik kepentingan. Contohnya auditor BPKP yang menjadi komisaris BUMN. "Bagaimana dia melakukan audit (BUMN) kalau diminta presiden melakukan audit, jika pejabat-pejabatnya menjadi komisaris BUMN," kata dia.
<!--more-->
Selain itu, Danang menyoroti gaji dobel pejabat pemerintahan yang menjadi komisaris BUMN. Gaji dari BUMN dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Arya merespons sorotan TII soal gaji birokrasi yang ditempatkan sebagai komisaris BUMN. Dia mencontohkan inspektorat di kementerian yang juga digaji pemerintah. Pegawai inspektorat itu, kata dia, harus melakukan pengawasan pada kementerian itu sendiri.
"Komisaris itu bukan yang melaksanakan pekerjaan teknis perusahaan, tapi dia melakukan pengawasan. Lucu lah kalau dari luar, apa dasarnya gitu. Harus ada yang mewakili pemegang saham," kata Arya.
Merespons jawaban Arya, Danang mengatakan, justru itu adalah masalahnya. Menurut Danang, efektivitas pengawasan harus independen dari yang diawasi.
"Kalau Kementerian BUMN tidak melihatnya sebagai persoalan, wah saya khawatir ini, jangan-jangan memang tidak melihat masalahnya, ga akan bisa melihat masalah besarnya," ujar Danang.
Menurut Danang, agar independen, pengawas tidak boleh difasilitasi oleh yang diawasi. Kemudian, dia juga mempertanyakan apakah pengawasan itu harus dengan menempatkan sebagai komisaris. Hal itu, dia khawatirkan ujung-ujungnya hanya mencari tambahan remunerasi atau tambahan gaji.
<!--more-->
Kalaupun menempatkan pejabat sebagai komisaris BUMN, kata dia, boleh saja, tapi harus dipastikan bahwa pengawasan sepenuhnya dibiayai kementerian. Komisaris, kata dia, tidak boleh menerima gaji dan fasilitas apapun dari BUMN yang diawasi.
"Ini yang saya kira menjadi masalah ya. Ada diminta awasi tapi dibayarin oleh pihak yang diawasi, konflik kepentingan namanya," kata Danang.
Pengangkatan komisaris BUMN diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Pasal tersebut berbunyi, "Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya."
Adapun Peraturan Menteri (Permen) BUMN Nomor 10 Tahun 2020 mengatur soal rangkap jabatan komisaris BUMN. Namun, tidak dijelaskan jika birokrasi yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Dalam Permen BUMN Nomor 10 Tahun 2020 soal rangkap jabatan disebutkan, "Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada perusahaan selain BUMN, dengan
ketentuan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sektoral."
HENDARTYO HANGGI
Baca juga: Mengapa Kemenkeu Paling Banyak Tempatkan Komisaris di BUMN?