ESDM Pertimbangkan Minta Tambang Mas Sangihe Persempit Area Tambang
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Kodrat Setiawan
Sabtu, 12 Juni 2021 16:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM berencana meminta PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mempersempit area kontrak karya yang digunakan untuk kegiatan pertambangan di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Permintaan itu akan disampaikan setelah Kementerian mengevaluasi luas wilayah kontrak karya TMS pasca munculnya penolakan aktivitas pertambangan dari masyarakat.
“(Pemerintah) Dapat meminta PT TMS melakukan penciutan terhadap wilayah kontak karya yang tidak digunakan atau tidak prospek untuk dilakukan kegiatan pertambangan,” ujar Direktur Jenderal Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin dalam pesan pendek, Sabtu, 12 Juni 2021.
Ridwan menerangkan pemerintah akan mengawasi ketat kegiatan pertambangan TMS di Sangihe agar berjalan sesuai aturan. Pemerintah, tutur Ridwan, mencegah aktivitas pertambangan itu menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan membahayakan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, total luas wilayah TMS yang prospektif untuk pertambangan adalah seluas 4.500 hektare. Angka tersebut setara dengan 11 persen dari total wilayah kontrak karya TMS yang mencapai 42 ribu hektare.
Adapun kegiatan pertambangan TMS mengacu pada kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dan perusahaan pada 1997. Perusahaan ini dulunya bernama East Asia Minerals sebelum menjadi TMS.
Pada 15 September 2020 lalu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah menerbitkan izin lingkungan untuk TMS dengan luas kegiatan pertambangan sebesar 65,48 hektare. Luas kegiatan pertambangan ini disebut-sebut lebih kecil dari total luas wilayah kontrak karya IUP.
<!--more-->
Keberadaan TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe memperoleh penolakan dari masyarakat. Penguasaan kegiatan pertambangan emas dan mineral lainnya oleh perusahaan dikhawatirkan akan merusak ekosistem lingkungan Sangihe sebagai pulau kecil.
“Kami gerakan Save Sangihe Island sudah terlebih dulu bergerak menolak PT TMS,” ujar aktivis koalisi Save Sangihe Island, Jull Takaliuang.
Penolakan oleh masyarakat diwujudkan dalam petisi kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak awal April lalu. Melalui situs Change.org, masyarakat mendesak Jokowi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) produksi TMS yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta membatalkan izin lingkungan yang dikeluarkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI) ESDM, saham TMS mayoritas dimiliki oleh Sangihe Gold Corporation asal Kanada. Sangihe Gold Corporation mengempit saham sebesar 70 persen dengan status kepemilikan perseroangan.
Sedangkan 30 persen lainnya dimiliki oleh perusahaan asal Indonesia. Rinciannya, sebanyak 10 persen saham TMS dikempit PT Sungai Belayan Sejati, 11 persen lainnya digenggam PT Sangihe Prima Mineral, dan 9 persen sisanya dimiliki PT Sangihe Pratama Mineral.
Perusahaan tersebut beralamat di Gedung Noble House Lantai 30, Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kavling e4.2 Nomor 2 Kuningan Timur, Setiabudi, Jakarta Selatan. Dihubungi Tempo sejak Jumat, 11 Juni, melalui dua nomor telepon kantor tersebut, Tambang Mas Sangihe tidak memberikan respons.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Profil PT Tambang Mas Sangihe yang Ditentang Masyarakat Sekitar