Stafsus Sri Mulyani: Konsep PPN Sembako Dipotong, Bunyinya Lepas dari Makna
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 12 Juni 2021 11:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Kementerian Keuangan Bidang Komunikasi, Yustinus Prastowo, menjelaskan tentang bocornya draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di dalam beleid itu terdapat rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako atau PPN sembako.
Menurut Prastowo, bunyi klausul dalam draf itu disebut beredar sepotong-sepotong sehingga menimbulkan spekulasi. “PPN atas sembako dan jasa pendidikan sebetulnya bagian kecil dari konsep RUU yang dipotong, dicabut, sehingga bunyinya lepas dari makna,” ujar Prastowo dalam diskusi bersama Trijaya FM, Sabtu, 12 Juni 2021.
Berdasarkan konsepnya, Prastowo menerangkan pemerintah sebetulnya ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif dan adil. Rencana untuk memasukkan golongan sembako ke objek pajak pun bukan berarti pemerintah ingin membebani masyarakat dengan memungut PPN dari bahan-bahan pokok.
Dengan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas, seperti daging wagyu, beras premium, dan telur omega tiga, misalnya, dikenakan pajak lebih besar sekitar 15-20 persen. Sedangkan barang kebutuhan seperti susu formula bisa dikenakan pajak lebih rendah, yaitu 5 persen.
Adapun barang yang dikonsumsi masyarakat secara luas bisa dikenakan PPN final seperti 1 persen, bahkan nol persen. “Ini untuk mencapai keadilan karena di pajak ada adagium kalau mau sederhana pasti enggak adil, tapi kalau mau adil memang harus rumit sedikit,” ujar Prastowo.
<!--more-->
Dalam draf calon beleid itu pun diatur tentang pengenaan pajak lainnya, seperti pajak karbon, kenaikan tarif PPh orang yang masuk golongan kaya, hingga upaya-upaya untuk menangkal pengemplangan pajak yang masif. Prastowo menyatakan kondisi yang terjadi saat ini mengarah ke distorsi sehingga wacana RUU itu menjadi polemik di masyarakat.
Adapun aggota Komisi XI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, dalam diskusi yang sama, menyayangkan munculnya rencana pemerintah memungut PPN bahan kebutuhan pokok di tengah krisis pandemi Covid-19. Anis mengatakan rencana itu bisa menimbulkan dampak psikologis bagi industri.
“Rencana PPN sembako ini diwacanakan saja sudah tidak pantas. Ini sangat tidak logis di tengah pandemi,” ujar Anis.
Anis menilai di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus memukul berbagai sektor perekonomian, pemerintah seharusnya mencari cara untuk menjaga ketersediaan pangan masyarakat. Selain itu, pemerintah mesti memikirkan agar masyarakat bisa menjangkau akses kebutuhan pokok yang terjangkau dan bukan dengan mengenakan PPN sembako.
Baca: Tolak PPN Pendidikan, PBNU: Apa yang Ada di Mindset Pengambil Kebijakan Itu?