MUI Soal Pajak Sembako: 50 Juta Orang Menjerit
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 10 Juni 2021 12:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia alias MUI, Anwar Abbas, turut menanggapi rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok atau pajak sembako. Menurut dia, rencana itu menjadi persoalan lantaran saat ini masyarakat masih terimbas pandemi Covid-19, sehingga pendapatan dan daya belinya menurun.
Alhasil rencana pengenaan PPN pada sembako yang diperkirakan akan mengerek harga bahan-bahan pokok itu pun dinilai akan membuat masyarakat semakin terpukul. Khususnya, kata Anwar, bagi sekitar 30 juta masyarakat lapis bawah atau masyarakat miskin, dan kelompok masyarakat yang berada sedikit di atasnya.
"Jadi mungkin tidak kurang 40 juta sampai 50 juta orang akan menjerit dibuatnya karena akibat dari kebijakan ini, karena akan membuat mereka menjadi tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya," ujar Anwar dalam keterangan tertulis, Rabu, 9 Juni 2021.
Sebenarnya, dia berujar kenaikan harga sembako pada dasarnya bukan masalah, apabila daya beli masyarakat tinggi. Namun akibat pagebluk, usaha dan pendapatan masyarakat pun ikut tergerus. Sehingga rencana kebijakan itu akan menambah tekanan bagi masyarakat.
Anwar mengingatkan kalau masyarakat miskin nantinya sulit memenuhi kebutuhan pokoknya, maka kesehatan mereka juga akan terancam. Bahkan, bisa menyebabkan kurang gizi dan stunting bagi anak-anaknya. "Dan bila itu yang terjadi maka jelas-jelas akan sangat-sangat merugikan bangsa tidak hanya untuk hari ini tapi juga untuk masa depan."
Oleh karena itu, Anwar mengatakan masalah pengenaan PPN terhadap sembako ini mesti dipikirkan berkali-kali oleh pemerintah. Apalagi, kalau dikaitkan dengan amanat konstitusi di mana tugas negara dan atau pemerintah adalah melindungi dan mensejahterakan rakyat.
"Bahkan di dalam pasal 33 uud 1945 negara dan atau pemerintah diminta dan dituntut untuk bisa menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat dan pengenaan PPN ini malah bisa membuat yang terjadi adalah sebaliknya dan itu jelas-jelas tidak kita inginkan," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah berencana menjadikan bahan pokok atau sembako sebagai objek pajak. Dengan demikian, produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal menjadi barang kena pajak yang dikenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. Terdapat beberapa opsi yang menjadi pertimbangan, yakni PPN Final 1 persen, tarif rendah 5 persen, atau tarif umum 12 persen.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, bahan pokok menjadi kelompok barang yang dikecualikan sebagai objek pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 99/2020 menyebutkan setidaknya ada 14 kelompok barang yang tidak dikenai tarif PPN, di antaranya adalah beras dan gabah, jagung, sagu, garam konsumsi, gula konsumsi, susu, kedelai, telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
CAESAR AKBAR | BISNIS