Keberatan Pengusaha Hotel Soal PP Royalti Lagu dan Musik
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Kodrat Setiawan
Jumat, 9 April 2021 11:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyampaikan keberatan terhadap beberapa aturan royalti lagu dan musik yang baru saja terbit. Salah satunya karena hotel dan restoran dianggap memiliki nilai komersil yang sama seperti layanan publik lainnya, mulai dari karaoke hingga konser musik.
"Seharusnya ada grouping, tidak bisa disamaratakan," kata Maulana saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 8 April 2021.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Maret 2021.
Salah satu pasal yang menuai keberatan PHRI adalah pasal 3. Dalam pasal tersebut, disebutkan 13 daftar layanan publik yang bersifat komersial. Mulai dari seminar, restoran, kafe, konser musik, pesawat udara, sampai kamar hotel.
Maulana menegaskan PHRI sebenarnya tidak pernah keberatan terhadap pungutan royalti atas penggunaan lagu. Sebab, pungutan royalti selama ini juga sudah berjalan setelah ada kesepakatan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sejak 2016.
Kesepakatan ini, kata dia, adalah implementasi dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sehingga, Maulana menilai ketentuan royalti dalam PP 56 tersebut bukanlah hal baru dan pembayaran royalti juga sudah dilakukan.
<!--more-->
Tapi dalam PP 56 ini, hotel dan restoran kemudian dianggap memiliki nilai komersil yang sama dengan layanan seperti usaha karaoke yang memang menggunakan musik. Sehingga, kata Maulana, konsekuensi yang bisa muncul adalah pembayaran royalti oleh hotel dan restoran bisa menjadi lebih besar dibandingkan nilai kesepakatan dengan LMKN di tahun 2016.
Maulana mengingatkan, penggunaan musik di hotel dan restoran sifatnya masih menjadi pilihan. Ada yang memutar lagu dan ada yang tidak, tergantung kelas dari restoran dan hotelnya.
Maulana mencontohkan hotel-hotel kecil yang sama sekali tidak menggunakan musik. "Kalau tanpa musik, kan masih tetap bisa buka," kata dia.
Sehingga, Maulana menilai harus ada pembedaan nilai komersil antara hotel dan restoran dengan layanan publik lainnya. Selain itu, harus ada ketentuan yang jelas mengenai mekanisme pungutan royalti ini bagi hotel dan restoran yang menggunakan musik, dan yang tidak.
FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Koalisi Seni Nilai PP Royalti Lagu dan Musik Datang Terlambat