Buruh Tolak THR Lebaran Dicicil: Tidak Ada Tawar-menawar
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Martha Warta Silaban
Senin, 5 April 2021 16:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Nasional atau SPN Ramidi Abdul menolak permintaan pengusaha menggelar perundingan bipartit untuk pembayaran tunjangan hari raya atau THR Lebaran 2021. Ia mendesak pengusaha memenuhi kewajiban THR kepada pekerjanya secara penuh tanpa dicicil.
“Perlu digarisbawahi, persoalan THR di undang-undang itu sesuatu yang normatif. Tidak ada tawar-menawar. Kami tidak akan mengusahakan perundingan itu,” ujar Ramidi dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 5 April 2021.
Baca Juga: Buruh Minta Bukti Laporan Keuangan Perusahaan yang Tak Sanggup Bayar THR Penuh
Ia melanjutkan pengusaha harus memberi kepastian terhadap buruh soal pembayaran THR menjelang Idul Fitri. Sesuai ketentuan perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang masih berlaku, tunjangan wajib diberikan dengan batas waktu tertentu sebelum hari raya.
Di samping itu, Ramidi meminta pemerintah memberikan dukungan terhadap buruh dengan tidak menerbitkan surat edaran yang mengizinkan perusahaan memberikan THR dengan mekanisme dicicil. Tahun lalu, saat pembayaran THR dilakukan dengan cara dicicil, ada 10 ribu buruh yang belum menerima haknya karena perusahaan masih mengutang.
Masalah tersebut semakin membebani buruh yang ikut terimbas dampak pandemi Covid-19. Data SPN menunjukkan, pada 2020, sebanyak 24.451 pekerja diliburkan tanpa diberi upah dan mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.
Pengusaha sebelumnya menyatakan niat ingin melakukan perundingan bipartit untuk menanggapi permintaan buruh yang mendesak perusahaan membayar THR secara penuh. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Haryadi Sukamdani mengatakan tak semua perusahaan memiliki kondisi keuangan yang cukup lantaran masih tertekan pandemi Covid-19.<!--more-->
“Tidak ada jalan lain selain kita kompromi. Mereka (pengusaha) mengupayakan pembicaraan bipartit,” ujar Haryadi. Menurut Haryadi, ada sejumlah sektor yang saat ini masih mengalami kesulitan pendapatan, seperti sektor angkutan darat, tekstil, dan perhotelan. Pengusaha hotel di Bali, misalnya, nyaris menutup usaha akibat rendahnya tingkat kunjungan selama setahun pandemi sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk membayarkan THR.
Dengan kondisi arus kas yang tidak lancar, Haryadi menilai perusahaan tak mungkin dipaksa untuk membayar tunjangan secara penuh bagi para pekerja. “Yang paling penting karyawan tidak di-PHK. Saya rasa dalam kondisi ini bisa ada kesepakatan pengusaha dan karyawan asal transparan,” tutur Haryadi.
Sementara itu Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI menyatakan akan membuka ruang bipartit dengan pengusaha. Syaratnya, buruh meminta perusahaan menunjukkan bukti laporan keuangan selama dua tahun bagi sektor-sektor yang tidak mampu membayar THR secara penuh, seperti industri pariwisata dan turunannya.
“Bipartit bisa sepanjang ada bukti kasat mata yang terlihat, yaitu laporan pembukuan perusahaan yang merugi selama dua tahun, dan bernegosiasi dengan serikat pekerja,” ujar Presiden KSPI Said.
Secara bersamaan, Said meminta bukti laporan keuangan itu diserahkan ke dinas ketenagakerjaan setempat. Setelah itu, pemerintah akan menilai kemampuan perusahaan dalam membayarkan kewajibannya kepada pekerja berdasarkan pembukuan keuangannya.