Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani dalam Seminar Nasional Peran Serta Dunia Usaha Dalam Membangun Sistem Perpajakan dan Moneter di Kempinski Grand Indonesia Ballroom. Jakarta, 14 September 2018. TEMPO/Candrika Radita Putri
TEMPO.CO, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia akan mematuhi ketentuan tarif maksimal pelayanan yang ditetapkan pemerintah untuk proses vaksin gotong royong. Meski penerima vaksin tidak dibebankan biaya pengadaan vaksin, masih ada sejumlah biaya dalam proses distribusi yang tidak ditanggung penyelenggara.
Regulasi mengenai tarif maksimal pelayanan tertuang dalam Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, ayat (2) menyebutkan biaya pelayanan Vaksinasi Gotong Royong yang dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik masyarakat/swasta tidak boleh melebihi tarif maksimal yang ditetapkan oleh Menteri. Pelayanan vaksinasi gotong royong sendiri tidak boleh dilakukan oleh fasilitas kesehatan milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Vaksinasi mandiri hanya diperkenankan dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan milik masyarakat atau swasta dengan bekerja sama dengan badan usaha atau badan hukum penyelenggara. Artinya, perusahaan hanya diperkenankan bekerja sama dengan rumah sakit atau klinik swasta untuk proses vaksinasi mandiri.
“Tarif layanan ini nanti ditentukan oleh pemerintah. Perlu dibedakan dengan biaya vaksin yang masuk saat diimpor dan dengan tarif pelayanan yang mencakup proses penyuntikan, distribusi, dan logistik,” kata Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani, Jumat, 26 Februari 2021.
Rosan mengatakan ketentuan tarif yang akan diatur pemerintah menjadi penepis isu bahwa vaksinasi mandiri merupakan ajang komersialisasi. Dia mengatakan tidak semua biaya distribusi dan logistik di dalam negeri bisa ditanggung penyelenggara seperti program vaksinasi besutan pemerintah. <!--more--> “Kalau vaksin program pemerintah biaya tersebut [distribusi dan logistik di dalam negeri] sudah ditanggung semua, namun kalau di swasta masih dihitung. Tentunya kami akan mengikuti ketentuan batas tarif pelayanannya. Kami tidak mau nanti ada unsur komersialisasi. Biar pemerintah yang meregulasi,” ujarnya.
Rosan meyakini kepastian hukum pada skema vaksin gotong royong bisa mengakselerasi pemulihan kesehatan dan perekonomian. Semakin banyak masyarakat yang divaksin diharapkan bisa memberi kepastian kembalinya mobilisasi dan aktivitas perekonomian. “Kami harap faktor ketidakpastian menurun dan masyarakat berani mobilisasi dan melakukan kegiatan ekonomi sehingga perekonomian lebih baik,” kata Rosan.
Sebelumnya epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono mengatakan, bahwa seharusnya tak boleh ada peluang untuk vaksinasi mandiri. “Vaksinasi mandiri bisa menggagalkan upaya penanganan pandemi dengan memfokuskan penduduk prioritas yang perlu divaksinasi, bukan berdasarkan kemampuan sosial ekonomi, dapat melebarkan kesenjangan akses dan pengabaian hak sehat rakyat diamanatkan konstitusi,” ungkapnya.
Pandu mengkhawatirkan, dengan vaksinasi mandiri, orang kaya dapat lebih dulu, karena perusahaan tempat bekerja sudah membeli vaksin. Dikhawatirkan, tujuan vaksinasi berubah, bukan lagi gotong-royong untuk percepatan dan perluasan cakupan vaksinasi bagi rakyat. “Gagasan vaksin mandiri, itu hanya dicetuskan dalam kondisi ketidakwarasan atau waras tapi tidak punya etika kesehatan publik,” ujar Pandu soal vaksin gotong royong.