Kata Serikat Petani Soal Harga Kedelai Impor Melonjak di Pasaran
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Kodrat Setiawan
Rabu, 6 Januari 2021 12:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai melonjaknya harga kedelai di pasaran merupakan imbas kebijakan pasar bebas sejak Indonesia menjadi anggota WTO tahun 1995 dan Letter of Intent (LOI) IMF dengan Pemerintahan Soeharto pada 1998. SPI mencatat harga kedelai di pasaran belakangan melonjak dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.
Awalnya, kata Henry, produksi petani kedelai di tingkat lokal sanggup memenuhi 70 - 75 persen kebutuhan kedelai nasional, impor hanya sekitar 20 persen. Kondisi ini sekarang terbalik, di mana kedelai impor menjadi sumber utama kebutuhan kedelai nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan impor kedelai Indonesia sepanjang semester I tahun 2020 mencapai 1,27 juta ton.
Henry mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati. Sebab ini semua bisa saja cara pedagang pasar global untuk terus memperluas pasar kedelai di Indonesia. Kedelai impor ini, menurut Henry, adalah produk GMO yang diimpor dari Amerika Serikat, dan Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina
“Gejolak harga kacang kedelai ini juga bisa sebagai upaya pengenalan benih kedelai hasil rekayasa genetik atau GMO (Genetically Modified Organism) untuk dikembangkan di Indonesia yang berpotensi besar menghilangkan benih-benih kedelai lokal. Untuk di Indonesia sendiri impor kedelai juga masih dikuasai oleh korporasi transnasional skala besar,” kata Henry dalam keterangan tertulis, Selasa, 5 Januari 2020.
Kendati Indonesia mengimpor kedelai dalam jumlah yang besar, kata Henry, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada Indonesia masih termasuk negara yang mau memproteksi pasar dalam negerinya. Terdapat upaya untuk meningkatkan produksi dengan gerakan menanam kedelainya untuk memenuhi kebutuhan nasional. Hal itu adalah implementasi dari Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013.
“Hanya saja upaya untuk mengimpor kedelai ini dikhawatirkan akan semakin gencar usai hadirnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sebab UU Cipta Kerja menghapus larangan impor bila kebutuhan dalam negeri mencukupi maupun prioritas penggunaan produk pangan domestik," ujar dia.
<!--more-->
Upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri, menurut Henry, sebenarnya sudah diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Menteri Pertanian saat itu, Amran Sulaiman, meluncurkan program peningkatan produksi kacang kedelai melalui proyek pajale (padi jagung, dan kedelai), meskipun proyek ini gagal memenuhi target yang direncanakan.
"Kementerian Pertanian sempat menargetkan produksi kedelai pada 2019 bisa mencapai 2,8 juta ton untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan mencapai 4,4 juta ton. Namun hingga Oktober 2019 hanya tercapai 480 ribu ton atau 16,4 persen dari target. Pada 2018 juga sama, dari target 2,2 juta ton produksi kedelai, hanya terealisasi 982.598 ton," ujarnya.
Henry melanjutkan, permasalahannya adalah bukan karena petani tidak bisa meningkatkan produksi, tetapi lantaran faktor ketersediaan dan luas tanah yang kurang. Karena itu ia mendorong program reforma agraria dipercepat untuk bisa memperluas lahan untuk tanaman kedelai dan pangan lainnya.
Program pajale, kata Henry, selama ini direncanakan dengan menanam di tanah yang sama. Namun, petani tidak mau menanam padi, bersama dengan jagung atau kedelai.
"Petani pilih padi dan jagung saja, lebih mudah tanam padi diselingi dengan jagung, daripada padi dengan kedelai, walau tanah lebih subur. Karena kedelai itu punya unsur N. Beda dengan di Latin Amerika, mereka tanam jagung dan kedelai saja," ujarnya.
CAESAR AKBAR
Baca juga: Harga Kedelai Naik, KPPU Akan Panggil Kementan dan Pelaku Usaha