Bank Indonesia: Rupiah Bisa Menguat, karena Saat Ini Masih Undervalue
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 23 Desember 2020 07:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah berpeluang kembali ke level fundamentalnya pada 2021 mendatang. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan kurs akan berjalan seiring dengan pelbagai stimulus kebijakan moneter, mulai dari kebijakan suku bunga rendah dan tren likuiditas longgar.
“Kami memandang rupiah masih bisa menguat karena dari sisi fundamental saat ini masih undervalue,” ujarnya, Selasa 22 Desember 2020. Berdasarkan referensi Jakarta Interbank Dolar Spot Rate (JISDOR), kemarin kurs rupiah berada di level Rp 14.218 per US$.
Tren pembalikan kinerja nilai tukar di sisi lain turut ditopang oleh tingkat inflasi yang rendah serta premi risiko yang semakin membaik. Saat ini, inflasi berada di ksiaran 1,59 persen secara tahunan per November 2020. Bank Indonesia memperkirakan inflasi akan terus berada di bawah target sasaran 3 plus minus 1 persen.
Likuiditas yang longgar juga tak terlepas dari upaya quantitative easing yang dilakukan bank sentral, dimana jumlahnya mencapai Rp 694,9 triliui atau 44,9 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). “Upaya stabilisasi nilai tukar akan terus menjadi concern kami,” ucap Perry.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede memproyeksikan nilai tukar rupiah di 2021 dapat menguat hingga di bawah level Rp 14.000 per US$, yaitu mencapai Rp 13.800 per US$. “Kami melihat potensinya di semester 1 bisa mulai menguat, hal ini sejalan dengan penguatan mata uang dunia terhadap dolar AS,” ujarnya.
<!--more-->
Dia mengatakan terdapat sejumlah faktor yang berpotensi menekan kurs dolar AS di 2021. Pertama, kebijakan bank sentral AS atau The Fed yang menunjukkan sinyal masih akan tetap rendah mendekati 0 persen. Hal ini akan mendorong peningkatan likuiditas di negeri Paman Sam tersebut.
Faktor berikutnya, sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pemulihan ekonomi negara maju akan lebih lambat dibandingkan negara berkembang. “Di sisi lain Indonesia masih memiliki ketahankan eksternal yang cukup baik,” kata dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menambahkan kemenangan Joe Biden dalam Pemilihan Presiden As beberapa waktu lalu diyakini turut menjadi sentiment positif bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya berpotensi mendorong peningkatan realisasi investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) ke tanah air.
Pada akhirnya, kondisi tersebut akan berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah di 2021. “Capital inflow tentu akan mendukung suplai dolar AS, sehingga rupiah berpotensi menguat hingga ke level Rp 12.000 per US$.”
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan terdapat sejumlah risiko yang patut diwaspadai, sebab berpotensi mengganjal penguatan rupiah tahun depan. “Pertama terkait dengan keberhasilan vaksinasi yang berdampak pada penguatan pemulihan ekonomi. Kalau pun berhasil siklusnya tentu tidak akan langsung bergeliat.”
<!--more-->
Kinerja ekspor yang menghasilkan valuta asing di sisi lain diprediksi belum sepenuhnya akan merata perbaikannya. “Ada negara seperti Cina yang mulai bagus permintaannya, tapi negara maju seperti AS diperkirakan masih terkontraksi,” ujar Bhima.
Berikutnya, berdasarkan arus tren pasar keuangan, dana asing masih berisiko kembali keluar dari Indonesia. Hal itu bergantung pada keberhasilan pengendalian pandemi Covid-19 di dalam negeri, serta keberhasilan dunia usaha kembali bangkit.
“Ketika neraca bank sentral negara maju seperti AS dan Eropa kembali melakukan penyesuaian setelah melakukan masif quantitative easing, bisa terjadi capital outflow di negara berkembang termasuk Indonesia dalam jangka menengah,” katanya.
Baca: Vaksin Gratis hingga Perundingan Brexit Bikin Rupiah Ditutup Menguat Hari Ini