Harga Minyak Anjlok ke Bawah USD 40 per Barel karena Sentimen Pilpres AS?
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 7 November 2020 11:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak jeblok dan menetap di bawah US$ 40 per barel pada akhir perdagangan Jumat kemarin atau Sabtu pagi, 7 November 2020. Anjloknya harga emas hitam ini seiring dengan penghitungan suara yang berlarut-larut dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat (Pilpres AS) membuat pasar gelisah.
Selain itu peningkatan kasus virus Corona global memicu kekhawatiran tentang permintaan minyak dunia yang lesu.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari terpangkas US$ 1,48 atau 3,62 persen, menjadi menetap pada US$ 39,45 per barel. Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember merosot US$ 1,65 atau 4,25 persen, menjadi US$ 37,14 per barel.
Tapi untuk minggu ini, kedua kontrak melonjak dengan Brent terangkat 5,8 persen, dan minyak mentah AS menguat 4,3 persen.
Seperti diketahui, dalam Pilpres AS, kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden memimpin atas Presiden Donald Trump di Georgia dan Pennsylvania. Biden semakin dekat untuk memenangkan Gedung Putih ketika beberapa negara bagian terus menghitung suara.
Tiga hari setelah pemungutan suara ditutup, Biden memiliki keunggulan 253 hingga 214 dalam pemungutan suara Electoral College negara bagian demi negara bagian yang menentukan pemenang, menurut Edison Research. Pemenangan 20 suara elektoral Pennsylvania akan menempatkan mantan wakil presiden itu melebihi 270 yang dia butuhkan untuk menang.
<!--more-->
Selain itu, prospek yang semakin menipis dari paket stimulus AS yang besar juga menekan pasar. Pemimpin mayoritas Senat AS Mitch McConnell mengatakan pada Jumat kemarin bahwa statistik ekonomi termasuk penurunan satu poin persentase dalam tingkat pengangguran AS menunjukkan bahwa Kongres harus memberlakukan paket stimulus virus corona yang lebih kecil yang sangat ditargetkan pada efek pandemi.
"Minyak mentah sangat sensitif terhadap ekspektasi stimulus, yang semakin terpukul," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho. “Situasi virus corona adalah indikator permintaan negatif yang bisa Anda dapatkan."
Sementara itu, sentimen dari pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan pemulihan datang di antaranya dari Prancis yang melaporkan rekor kasus. Hal ini meningkatkan kekhawatiran bahwa lockdown tambahan di Eropa dapat membebani permintaan bahan bakar.
Adapun kasus virus corona AS melonjak lebih dari 120.000 pada Kamis lalu, menurut penghitungan Reuters, rekor harian kedua berturut-turut meningkat ketika wabah menyebar di setiap wilayah. Italia juga mencatat jumlah infeksi Covid-19 harian tertinggi pada Kamis lalu.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, disebut-sebut bakal menunda mengembalikan pasokan 2 juta barel per hari pada Januari mendatang. Hal ini dilakukan merespons permintaan yang lebih lemah setelah serangkaian lockdown baru.
ANTARA
Baca: Analisis Bank Dunia soal Harga Minyak Naik 2 Kali Lipat Meski Pandemi Berlanjut