ADB Soroti Rasio Pajak Negara Asia Tenggara di Bawah 15 Persen, Termasuk RI
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 17 September 2020 14:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Bank Pembangunan Asia alias ADB Masatsugu Asakawa menyoroti rendahnya rasio pajak negara-negara di Asia, khususnya Asia Tenggara. Ia mengatakan rata-rata negara di Asia Tenggara rasio pajaknya terhadap Produk Domestik Brutonya lebih rendah dari 15 persen, bahkan sebelum terjadinya pandemi.
“Rasio pajak terhadap PDB 15 persen adalah tingkat yang sekarang secara luas dianggap sebagai persyaratan minimum untuk pembangunan berkelanjutan,” ujar Masatsugu dalam seminar Pertemuan Tahunan ke-53 ADB pada Kamis, 17 September 2020.
Sebenarnya, menurut Masatsugu, berbagai negara berkembang khususnya di Asean mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak diikuti peningkatan hasil pajak secara proporsional.
Masatsugu mengatakan bahwa negara-negara berkembang di Asia terus menghadapi hasil pajak yang agak tidak stabil dengan variabilitas yang besar dari waktu ke waktu. Selain itu, karena pendapatan pajak yang menurun dan pengeluaran yang meningkat sebagai akibat dari pandemi, banyak negara berkembang memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan utang luar negeri mereka lebih jauh.
“Angka-angka ini mengingatkan kita akan pentingnya memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Pada saat yang sama, kita juga harus menangani masalah mobilisasi sumber daya domestik dari perspektif yang lebih luas,” kata Masatsugu.
<!--more-->
Untuk memulai, ia menyarankan agar kebijakan perpajakan harus berjalan melalui peningkatan pendapatan pajak dan mempromosikan investasi yang dapat berkontribusi pada pemulihan akibat pandemi. Untuk mencapai hal ini, pemerintah dapat mengadopsi instrumen kebijakan yang ditargetkan seperti insentif pajak yang lebih disesuaikan dan hemat biaya.
Kedua, Masatsugu mengajak semua negara memanfaatkan langkah-langkah kebijakan perpajakan untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi target pembangunan berkelanjutan tetap bisa tercapai. “Misalnya, pemerintah dapat mengadopsi sistem pajak yang lebih progresif untuk mengatasi ketimpangan pendapatan yang semakin memburuk akibat Covid-19,” ujarnya. Di samping itu, pajak karbon atau pajak lingkungan lainnya juga dapat mendorong kegiatan ekonomi untuk mencapai pemulihan hijau dan mendorong adaptasi dan ketahanan.
Ketiga, ia juga meminta setiap negara memperkuat upaya untuk melindungi basis pajak dari erosi dasar dan peralihan laba, yang sering disebut sebagai BEPS (Based Erosion and Profit Shifting).
Melalui praktik BEPS, kata Masatsugu, beberapa perusahaan multinasional yang menjalankan bisnis di negara berkembang memindahkan laba kena pajak ke yurisdiksi pajak berbasis rendah atau bahkan nol. “Tantangan ini semakin dekat mengingat transformasi digital yang semakin cepat akibat pembatasan mobilitas Covid-19.”
Baca: Rasio Pajak di RI Rendah, Sri Mulyani Kritisi Soal Reformasi Perpajakan