Sri Mulyani Dua Kali Menjadi Menteri Saat Krisis, Bedanya Apa?
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 24 Juli 2020 19:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perbedaan dua krisis ekonomi yang ia alami semasa menjadi menteri, yaitu pada 2008 dan 2020.
Sri Mulyani sebelumnya pernah menjadi menteri keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005-2010. "Kami kan enggak pernah memilih ya. Karena kita enggak pernah tahu (akan mengalami krisis)," ujar Sri Mulyani dalam sebuah acara daring, Jumat, 24 Juli 2020.
Saat pertama menduduki kursi menteri keuangan, Sri Mulyani mengatakan ekonomi dunia sedang positif dan melejit. Namun, masalah Lehman Brothers mendadak muncul di Amerika Serikat dan berdampak luar biasa pada dunia. Krisis kala itu dipicu sektor keuangan, baik bank maupun non-bank.
"Yang porak poranda alami kebangkrutan di AS dan Eropa adalah perbankan. Perbankan yang rusak itu spill over-nya ke sektor riil karena kemudian perusahaan-perusahaan tidak bisa mengakses kredit. Kemudian kita mengalami kredit macet karena terjadi kepanikan," kata Sri Mulyani.
Krisis pada 2008-2009, ujar Sri Mulyani, menyebabkan goncangan hebat pada lembaga keuangan dan korporasi besar yang meminjam kepada lembaga keuangan maupun melalui surat berharga. Situasi tersebut menyebabkan bank sentral di AS dan Eropa menggelontorkan dana besar untuk membail-out perusahaan terdampak.
<!--more-->
"Di Indonesia, alhamdulillah ekonomi tetap bagus, tumbuh di atas 4,8 persen dan tidak ada krisis keuangan. Ada masalah century. Itu satu bank kecil yang dipermasalahkan secara politik. Tapi ekonomi Indonesia sangat durable dan sangat berdaya tahan dan survive goncangan 2008," kata Sri Mulyani.
Pada 2020, Sri Mulyani lagi-lagi mesti mengalami situasi krisis perekonomian. Namun, kali ini penyebabnya adalah penyakit akibat virus Covid-19 yang mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Ancaman terhadap jiwa masyarakat itu, menurut dia, membuat pemerintah mengambil kebijakan luar biasa.
"Masyarakat dijaga keselamatan jiwanya. Tapi kalau jaga keselamatan jiwa berarti mereka harus di rumah. Kalau ada yang sakit harus di karantina, artinya tidak bisa lakukan kegiatan ekonomi," tutur Sri Mulyani. Karena itu, pemerintah pun mengambil langkah berbeda dari krisis sebelumnya.
Alih-alih perusahaan besar yang terimbas krisis seperti 2008, Sri Mulyani mengatakan sektor UMKM dan informal justru terkena dampak paling duluan akibat krisis ini. Pasalnya, para pelaku UMKM dan sektor informal mengalami penurunan permintaan akibat masyarakat yang tidak beraktivitas di luar rumah.
"Ini menimbulkan situasi pemerintah harus memberi perhatian langsung ke level akar rumput. Makanya bansos meningkat luar biasa besar. Itu desain pertama kita langusng ke mereka," ujar Sri Mulyani. Dalam situasi ini, persoalan kesehatan bisa membuat kegiatan ekonomi berhenti dan dapat berakibat terjadinya kebangkrutan.
Pemerintah pun kemudian mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi efek domino tersebut. Misalnya dengan kebijakan restrukturisasi kredit, hingga kredit modal kerja dengan suku bunga rendah. Sehingga dunia usaha dan sektor keuangan memiliki daya tahan.
Ia mengatakan pengalaman mengalami kondisi krisis sebelumnya membuatnya dapat mengambil langkah lebih cepat pada saat ini. "Pengalaman krisis masa lalu memberikan banyak sekali manfaat untuk kita lebih cepat," ujar dia.
CAESAR AKBAR