Edhy Prabowo: Dari Sabang - Merauke Ada 27 Miliar Telur Lobster
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 15 Juli 2020 10:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan potensi lobster di perairan Indonesia sangat besar. Bila dirunut dari Sabang sampai Merauke, komoditas ini bisa menghasilkan 27 miliar telur sepanjang tahun.
“Dengan asumusi satu lobster bertelur 500 ribu,” kata Edhy dalam diskusi publik bersama Bincang Karya (Bianka), Rabu, 15 Juli 2020.
Namun, menurut Edhy, potensi ini tidak akan berkembang seandainya lobster terus-menerus dibiarkan dilepas di laut. Sebab, seumpama telur lobster ditinggalkan di alam, kemungkinannya untuk bertumbuh menjadi dewasa hanya 0,02 persen. Itu artinya, 20 ribu telur hanya akan menghasilkan satu lobster.
Lain halnya bila lobster dibiarkan dibudidaya oleh nelayan. Ia mengungkapkan, melalui cara ini, Indonesia bisa menggenjot produktivitas lobster hingga 80 persen dari jumlah telurnya.
Budidaya lobster pernah dilakukan oleh nelayan tradisional pada era awal 2000-an lampau. Edhy mengungkapkan, kala itu para nelayan dapat meningkatkan produktivitas lobster menjadi 30 persen. Cara ini juga telah dilakukan oleh nelayan Vietnam hingga negara itu menjadi penghasil komoditas lobster terbesar.
Edhy menjamin budidaya lobster tidak akan memberikan ancaman terhadap kepunahan. “Orang berpikir kalau diambil akan hilang. Makanya si pengambil diwajibkan mengembalikan ke alam 2 persen untuk lobster yang sudah besar. Itu artinya (potensi jumlah lobster) 100 kali lebih banyak,” ucapnya.
<!--more-->
Pemerintah membuka keran ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020. Sejak beleid itu terbit pada Mei lalu, KKP telah memberikan izin kepada 32 perusahaan ekpsortir.
Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan pasar lobster di dalam negeri tengah menghadapi ancaman serius setelah pemerintah membuat kebijakan ini. Zenzi menduga kondisi ini akan mendorong perdagangan komoditas lobster di Tanah Air berada di bawah kendali Vietnam.
“Kita akan di bawah kendali Vietnam karena Vietnam banjir (benur) dari Indonesia. Sekarang orang berebut menangkap lobster untuk dikirim, jadi pasar itu bisa dikendalikan oleh Vietnam,” ujar Zenzi saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta Selatan, Jumat, 10 Juli 2020.
Zenzi mengungkapkan, persoalan ini dalam jangka panjang malah akan berpotensi merusak potensi ekonomi maritim di Tanah Air meski kuota ekspor sudah dibatasi. Apalagi, kata dia, saat ini nilai jual benur di kalangan nelayan ditawar dengan harga yang sangat murah, yakni hanya Rp 4.000 per ekor.
Nilai itu mendorong pihak-pihak tertentu menangkap benih lobster dengan jumlah besar untuk memperoleh keuntungan yang jumbo. Masalah ini pun, menurut Zenzi, serupa dengan pasar cengkeh yang rusak karena diekspor dengan harga terlalu rendah pada masa lampau.