Core: Cetak Uang Bikin Hiperinflasi Bukan Argumen yang Tepat

Rabu, 10 Juni 2020 20:54 WIB

Ilustrasi mata uang Rupiah. Brent Lewin/Bloomberg via Getty Images

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Riset CORE Indonesia Piter Abdullah berpendapat, mencetak uang baru di saat kondisi likuiditas Indonesia seret tidak akan menimbulkan masalah hiperinflasi. Sebab, saat ini, jumlah uang yang beredar di dalam negeri sangat kecil ketimbang negara lain.

"Jadi kekhawatiran mencetak uang akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berlebihan itu enggak terlalu tepat argumennya," tutur Piter dalam diskusi online melalui Instagram, Rabu, 10 Juni 2020.

Menurut Piter, jumlah uang beredar baik dalam bentuk kertas maupun koin (M0) per produk domestik bruto (PDB) di Indonesia hanya 6 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 14 persen.

Sedangkan jumlah uang fisik, cek dan deposit, tabungan, deposito berjangka serta dana pasar uang yang dimiliki oleh investor (M2) Indonesia hanya di kisaran 38,8 persen. Padahal, menurut Piter, angka M2 di Malaysia dan Thailand bisa mencapai 125 persen.

Bahkan, kata dia, angka M2 di Cina dan Jepang sudah mencapai 200 persen. Piter menjelaskan, peredaran uang di Indonesia sangat rendah karena faktor pembentuknya, yakni kredit per PDB, juga tergolong sangat kecil. "Kredit per GDP (gross domestic product) kita hanya 40 persen sedangkan Jepang 200 persen," tuturnya. Adapun kredit yang tergolong kecil di dalam negeri itu didorong oleh mekanisme yang sulit dan suku bunga yang masih tinggi.

Di sisi lain, Piter mengatakan mengguyur likuiditas atau cetak uang tidak akan terjadi seandainya dari sisi permintaan terjaga. "Selama demand terjaga, hiperinflasi tidak terjadi," tuturnya. Bahkan, menurut dia, seandainya likuiditas dilonggarkan, potensi inflasi hingga akhir tahun masih akan terjaga di bawah 3 persen.

Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR MH Said Abdullah merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan pandemi virus Corona. Salah satunya, Bank Indonesia disarankan mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.

Mantan Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gita Wirjawan juga menyarankan pemerintah menyiapkan setidaknya Rp 1.600 triliun untuk menangani wabah Virus Corona alias COVID-19 dalam enam bulan ke depan. Untuk memenuhi biaya tersebut, ia mengusulkan Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kuantitatif easing dengan mencetak uang untuk mengguyur masyarakat. "Ujung-ujungnya, ini duitnya dari mana? Mau gak mau harus dicetak, itu solusi dari saya," ujar Gita pada 15 April lalu.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | HENDARTYO HANGGI

Berita terkait

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

3 jam lalu

LPEM UI Sebut Tiga Sumber Inflasi, Rupiah sampai Konflik Iran-Israel

Inflasi April 2024 sebesar 3 persen secara year on year.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

13 jam lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

15 jam lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

18 jam lalu

Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Stagnan di 3,2 Persen, Bagaimana Dampaknya ke RI?

Sri Mulyani menyebut perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini bakal relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan yang berkembang.

Baca Selengkapnya

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

22 jam lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Rupiah Menguat di Angka Rp 16.088

23 jam lalu

Rupiah Menguat di Angka Rp 16.088

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di angka Rp 16.088 pada perdagangan akhir pekan ini.

Baca Selengkapnya

Sektor Manufaktur Masih Ekspansif dan Inflasi Terkendali

1 hari lalu

Sektor Manufaktur Masih Ekspansif dan Inflasi Terkendali

Sektor manufaktur tunjukan tren kinerja ekspansif seiring Ramadhan dan Idul Fitri 2024. Sementara itu, inflasi masih terkendali.

Baca Selengkapnya

BPS: Inflasi Indonesia Mencapai 3 Persen di Momen Lebaran, Faktor Mudik

1 hari lalu

BPS: Inflasi Indonesia Mencapai 3 Persen di Momen Lebaran, Faktor Mudik

Badan Pusat Statistik mencatat tingkat inflasi pada momen Lebaran atau April 2024 sebesar 3 persen secara tahunan.

Baca Selengkapnya

Didemo Nasabah, BTN: Tak Ada Uang Nasabah yang Raib

1 hari lalu

Didemo Nasabah, BTN: Tak Ada Uang Nasabah yang Raib

PT Bank Tabungan Negara (Persero) atau BTN patuh dan taat hukum yang berlaku di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

3 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya