Ikut Biayai Defisit, Bank Indonesia Serap SBN di Pasar Perdana
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 2 April 2020 06:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia memperoleh kewenangan baru dalam upaya memberikan stimulus ekonomi guna meredam dampak pandemi virus corona (Covid-19). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, bank sentral diizinkan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melalui penyerapan Surat Berharga Negara (SBN) serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana.
“Dalam kondisi normal bank sentral tidak boleh membiayai defisit fiskal, tapi sekarang kita menghadapi kondisi tidak normal,” ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Rabu 1 April 2020. Perry menuturkan saat ini keuangan negara membutuhkan tambahan likuiditas untuk menangani dampak wabah Covid-19, di tengah kondisi perekonomian global yang bergejolak.
Bank Indonesia dalam hal ini dapat masuk mengintervensi saat pasar tidak bisa menyerap kebutuhan SBN atau SBSN. Kondisi yang dimaksud adalah baik ketika jumlah pembelian yang dibutuhkan tidak memadai atau ketika suku bunga melambung tinggi. “Bukan sebagai first lender, tapi sebagai last lender,” katanya. Menurut Perry, pemberian wewenang tambahan itu merupakan langkah antisipasi dalam skenario perekonomian yang memburuk.
Ihwal detil mekanisme, proyeksi kebutuhan penyerapan SBN, dan perhitungan kemampuan bank sentral, kata dia masih dalam proses pembahasan lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan. “Untuk teknisnya masih didiskusikan.” Perry menambahkan wewenang luar biasa yang memperkenankan Bank Indonesia dapat membeli surat utang pemerintah di pasar perdana ini juga hanya diperkenankan ketika situasi ekonomi genting atau tidak normal. “Jadi kalau normal ya balik lagi ke undang-undang BI, kami tidak bisa lagi beli di pasar perdana.” Adapun dalam situasi normal selama ini, Bank Indonesia hanya diperbolehkan menangkap surat utang pemerintah yang dilepas investor di pasar sekunder.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berujar dalam penerapan mekanisme ini, pemerintah dan bank sentral akan membuat rambu-rambu yang bertanggung jawab. “Kami akan atur secara prudent, menggunakan parameter apa yang disebut kondisi pasar, yield yang rasional dan tidak, juga kami definisikan nanti kapan BI bisa masuk,” ucapnya. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, maka stabilitas makro ekonomi dan tingkat inflasi diharapkan tetap terjaga.
Sementara itu, kebijakan untuk membuka opsi ini memiliki sejumlah konsekuensi yang harus diwaspadai. Ekonom senior, M. Chatib Basri mengingatkan pembelian obligasi pemerintah oleh bank sentral memiliki risiko yaitu dapat meningkatkan inflasi. “Pemerintah dan BI perlu duduk bersama untuk menentukan berapa inflasi yang memang bisa diterima sebagai biaya,” katanya. Kemudian, baik pemerintah dan otoritas moneter dapat menetapkan berapa besaran obligasi yang nantinya bisa dibeli. “Sebab jika size-nya teramat besar, inflasi akan naik tajam dan juga akan memukul ekonomi kita.”
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan pola pembelian surat berharga pemerintah oleh bank sentral ini jamak dilakukan di negara-negara lain, atau biasa disebut dengan skema quantitative easing. “Sekarang ini kondisinya kita sangat membutuhkan likuiditas, jadi dibutuhkan pola pembelian SBN oleh BI dengan nilai yang luar biasa,” ujarnya.
Bahkan, menurut Piter tidak menutup kemungkinan dibutuhkan aksi intervensi injeksi likuiditas yang lebih agresif lagi di kemudian hari. “Misalnya bank sentral tidak perlu menunggu sisa obligasi yang tidak terserap, seperti bank sentral AS yang langsung sejak awal membeli saja seluruh obligasi pemerintahnya.”