Pengelolaan Dana Pensiun Belum Optimal, BKF Sebut Ada 4 Penyebab
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 13 Oktober 2019 06:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menilai pengelolaan dana pensiun di Indonesia yang masih belum optimal. Meskipun secara umum total dana kelolaan program pensiun relatif, tinggi tapi belum banyak berperan dalam pengembangan sektor keuangan.
Secara umum, total dana kelolaan program pensiun saat ini relatif tinggi. Per Desember 2018, total dana pensiun tercatat mencapai Rp 850,78 triliun dengan BPJS Ketenagakerjaan mendominasi sebesar Rp 319,33 triliun.
Per Desember 2018, total dana pensiun hanya sekitar 5,63 persen dari PDB. Angka tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan negara lain. Hal ini mengindikasikan dana pensiun di Indonesia masih belum dikelola secara optimal.
Dalam 'Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi III/2019' yang diterbitkan oleh BKF, disebutkan bahwa sebagian besar aset dana pensiun di Indonesia diinvestasikan pada instrumen berjangka pendek.
Hal ini tidak sesuai dengan karakteristik program pensiun yang memiliki liabilitas jangka panjang sehingga menimbulkan asset-liability mismatch. Akibatnya, aset dana pensiun yang ada tidak dapat dikelola secara optimal.
Penyebab pertama timbulnya asset-liability mismatch adalah adanya pengukuran kinerja manajemen pengelolaan dana yang dilakukan hanya berdasarkan kinerja satu tahun. Hal tersebut membuat pengelola dana pensiun cenderung menempatkan aset pada instrumen investasi bertenor pendek dengan tingkat volatilitas dan imbal yang kecil.
<!--more-->
"Kondisi ini berbeda dengan praktik di beberapa negara lain seperti Malaysia, Australia, dan Kanada di mana pengukuran kinerja tahunan manajemen dilakukan berdasarkan rata-rata kinerja 3 hingga 5 tahun terakhir," seperti dikutip dari laporan BKF, Sabtu, 12 OKtober 2019.
Penyebab kedua ialah penarikan dana pensiun dilakukan relatif dini sebelum masuknya usia pensiun, terutama pada program jaminan hari tua (JHT) BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, program dengan aset kelolaan sebesar Rp 278,9 triliun per Desember 2018 tersebut tidak dapat tumbuh optimal akibat penarikan tersebut dan karena memang secara aturan dana JHT dapat ditarik kapan saja, termasuk sesaat setelah berhenti bekerja.
Ketiga, adanya Peraturan OJK yang mewajibkan industri keuangan non-bank untuk mengalokasikan aset kepada Surat Berharga Negara (SBN) dalam batas waktu tertentu tanpa mempertimbangkan karakter dan durasi liabilitas program. Walhasil, hal itu berakibat pada berkurangnya ruang bagi surat berharga korporasi dan instrumen investasi lain untuk berkembang.
Keempat atau terakhir, literasi investasi di masyarakat baik peserta, pengelola, dan regulator masih relatif rendah. Strategi investasi atas aset program pensiun yang belum dipahami oleh masyarakat. Hingga kini masyarakat masih familiar kepada instrumen lama yakni tabungan, deposito, dan SBN. tetapi kurang memahami saham dan reksa dana.
BISNIS