Larangan Ekspor Nikel Dipercepat, ESDM Ingin Kejar Momentum Ini
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 2 Oktober 2019 21:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subdirektorat Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andri Budhiman Firmanto mengatakan keputusan pemerintah untuk mempercepat larangan ekspor nikel berkaitan dengan momentum untuk menyambut perkembangan industri kendaraan listrik.
"Saya bilang momentum tidak akan pernah kembali dua kali, jadi ketika ada momentum tepat, pemerintah harus antisipasi," ujar dia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Firmanto cemas pemerintah kehilangan peluang mengembangkan industri baterai nasional ketika ekspor nikel terus berjalan dan industri kendaraan listrik berdiri di Cina.
Padahal, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan industri baterai kendaraan listrik karena bahan bakunya tersedia melimpah di Indonesia. "Momentum itu tidak mungkin dua kali."
Secara umum, ujar Andri, negara-negara di dunia termasuk Indonesia terus berupaya untuk menggantikan kendaraan dengan bahan bakar fosil dengan kendaraan listrik. Untuk Indonesia, ditargetkan 20 persen penggunaan kendaraan listrik dari pangsa pasar pada tahun 2025.
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, ia mengatakan 40 persen dari total biaya manufaktur mobil listrik adalah dari baterai. Baterai kendaraan listrik menggunakan tipe baterei lithium ion dengan bahan baku katodanya adalah Nikel, Cobalt, Lithium, Mangan, dan Aluminium.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau disebut limonite dengan kandungan nickel dan cobalt yang tinggi," kata Andri. Dengan menggunakan teknologi Hydrometalurgy HPAL (High Pressure Acid Leaching) bijih nikel kadar rendah dimurnikan menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate, Nickel Sulfat dan Cobalt Sulfat sebagai bahan baku precursor.
<!--more-->
Andri mengatakan pemanfaatan nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai menjadi prioritas sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis BateraI untuk Transportasi Jalan.
"Sisi suplai Indonesia memiliki potensi yang besar dan dari sisi pemanfaatan saat ini berada pada momentum yang sangat tepat sehingga dapat melengkapi rantai suplai industri nikel yang berbasis sumber daya alam," ujar Andri. Adapun total kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada tahun 2021 akan mencapai 27 juta ton per tahun.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menuturkan alasan pemerintah untuk menerbitkan aturan yang melarang ekspor biji nikel atau ore mulai 1 Januari 2020. Dia mengatakan langkah ini dilakukan supaya industri nikel bisa memiliki nilai tambah.
"Ya kami kan usahakan nilai tambah, dan nilai tambah untuk ekspor kan bagus. Jadi ekspor kita akan meningkat drastis dengan mengolah nikel itu di dalam negeri," kata Luhut ditemui usai menjadi pembicara dalam acara peluncuran buku berjudul 'Agus Martowardojo Pembawa Perubahan' di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Senin 2 September 2019.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan pelarangan kegiatan ekspor biji nikel mulai 1 Januari 2019. Pelarangan itu khusus diberikan untuk ekspor biji nikel berkadar rendah, sedangkan untuk bauksit yang telah dilakukan pencucian masih boleh diekspor.
Adapun pelarangan ini tercatat lebih cepat dua tahun dibandingkan rencana awal yang tertuang lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Beleid itu menyebut bahwa perusahaan yang telah membangun smelter diperbolehkan melakukan ekspor biji nikel hingga 2022. Sementara itu, saat ini aturan tersebut telah diproses di Kementerian Hukum dan HAM.
CAESAR AKBAR | DIAS PRASONGKO