Aktivitas pelayanan di kantor BPJS kesehatan Jakarta Pusat. TEMPO/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Bandung - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, masih menunggu keputusan akhir soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan imbasnya pada anggaran daerah.
“Belum ada keputusan resmi naiknya, masih ada perdebatan di DPR seperti apa,” kata dia di Bandung, Selasa, 10 September 2019.
Pada 27 Agustus lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam rapat gabungan Komisi IX dan XI Dewan Perwakilan Rakyat di kompleks Parlemen. Alasannya, jika iuran tidak dinaikkan, defisit BPJS Kesehatan berpotensi membengkak dari perkiraan awal Rp 28,35 triliun menjadi Rp 32,84 triliun tahun ini.
Ridwan mengatakan, pemerintah daerah tidak bisa serta merta diminta memberi subsidi tambahan untuk meng-cover kenaikan iuran.
“Itu kan harus dihitung pengaruhnya terhadap APBD seperti apa. Jadi tidak serta-merta setiap kenaikan, berharap pemerintah daerah meng-cover. Kalau uangnya ada enggak masalah, kalau enggak ada karena ada prioritas lain, juga kan harus adil,” kata dia.
Dia mengatakan, masih meneliti rencana itu. “Kita akan teliti. Kan ujungnya yang penting itu masyarakat ter-cover kesehatannya,” kata dia.
Dia mengatakan penelitian itu juga mencakup layanan asuransi swasta. “Sekarang kalau (iuran) BPJS (Kesehatan) dinaikkan, pertanyaannya, apakah ada asuransi swasta yang harganya lebih murah, kualitas lebih tinggi? Kita sedang kaji pilihan-pilihan itu,” kata dia.
Ridwan Kamil mengatakan, iuran yang terjangkau dan layanan yang mudah menjadi isu utama layanan kesehatan. “Utamanya adalah bagaimana keterjangkauan menjadi sebuah solusi,” kata dia. “Intinya kita sedang mengkaji opsi-opsi yang memudahkan untuk masyarakat.”
Salah satu kemudahan yang diberikan saat ini adalah peserta JKN aktif dapat berobat hanya dengan menunjukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera di Kartu Tanda Penduduk (KTP).