Investor Migas Tagih Kepastian Usaha ke Pemerintah
Reporter
Vindry Florentin
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 5 September 2019 06:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha menilai pemerintah perlu berbenah untuk meningkatkan investasi hulu minyak dan gas (migas) di dalam negeri. Salah satunya untuk menjamin kepastian berusaha.
Pelaksana tugas Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA), Bij Agarwal, menyatakan kepastian berusaha sangat dibutuhkan lantaran proyek hulu migas berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Pelaksanaan kegiatan eksplorasi hingga berproduksi normalnya membutuhkan waktu hingga 30 tahun.
Menurut dia, pemerintah perlu meningkatkan kolaborasi dengan pelaku usaha untuk menjamin kepastian usaha dengan membuka akses berdiskusi mengenai masukan dan kritik. Tak hanya itu, komunikasi juga perlu dibangun untuk menemukan cara baru yang lebih efisien dalam kegiatan investasi. "Salah satu tantangan kita adalah bagaimana mempercepat proses eksplorasi menjadi produksi," katanya di Jakarta, Rabu 4 September 2019.
Selain komunikasi, pengusaha butuh regulasi yang lebih ramping. Direktur IPA, Nanang Abdul Manaf, mengatakan investor masih menunggu penyederhanaan regulasi. "Investor ingin satu payung hukum kalau bisa dari pusat sampai daerah," ujarnya. Deregulasi diyakini bisa membuat Indonesia lebih atraktif sebagai tempat investasi dibandingkan negara lain.
Selain itu pemerintah dinilai perlu konsisten dalam menerapkan aturan investasi di hulu migas. "Contohnya peraturan menteri tentang gross split yang sifatnya di bawah undang-undang tapi bisa lebih kuat mengatur," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro.
Meski bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, dia menilai opsi pembiayaan lain tetap harus dibuka dengan mempertimbangkan kondisi lapangan. Menurut dia tidak semua cocok dengan gross split. Di lokasi yang infrastrukturnya masih belum memadai atau di laut dalam, investasi hulu migas akan memakan biaya lebih besar. Investor belum tentu bersedia menanggung risiko gagal produksi padahal lokasi potensial investasi banyak di wilayah tersebut.
Investasi di sektor hulu migas perlu digenjot lantaran lesu dalam lima tahun terakhir. Nilai investasi di sektor itu turun dari US$ 20 miliar pada 2014 menjadi hanya US$ 10 miliar di 2017. Penurunan investasi seiring dengan anjloknya harga minyak di periode tersebut dari kisaran US$ 100 menjadi US$ 40 per barel. Investasi tercatat meningkat pada 2018 menjadi US$ 12 miliar setelah harga minyak membaik ke kisaran US$ 60 per barel.
<!--more-->
Meski membaik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignatius Jonan, menyatakan harga minyak mentah tak bisa diharapkan terus naik lantaran sangat rentan kondisi global. Pemerintah berupaya mendorong investasi dengan membenahi kebijakan seperti menciptakan aturan baru hingga menyederhanakan regulasi. Pemerintah juga memberikan fasilitas pajak pembebasan pajak pertambahan nilai serta pengurangan pajak bumi dan bangunan.
Namun dia menyatakan, upaya itu tak berarti jika pelaku usaha tidak berkomitmen berinvestasi. "Ini kan bisnis," katanya. Dia meminta para pengusaha konsisten dengan komitmennya menanamkan modal di hulu migas Indonesia.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto, memberikan tawaran penghematan biaya investasi bagi para pelaku usaha. SKK Migas berencana membentuk sinergi antar kontraktor di satu wilayah kerja. "Kami akan membangun clustering, di dalamnya ada kerja sama antar kontraktor, misalnya untuk membangun infrastruktur, sehingga biayanya murah," kata dia. Para kontraktor juga akan didorong melakukan pengadaan barang bersama.
Terkait regulasi, Dwi mengakui masih ada masalah. Namun SKK Migas secara bertahap akan menyelesaikannya. "Kalau sampai ada kawan di SKK Migas yang tidak berkomitmen membenahi regulasi, kami akan pindah tugaskan ke daerah," katanya.