Asosiasi Industri Kakao Minta Pemerintah Revisi Tarif Bea Masuk
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 5 September 2019 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman mendorong pemerintah untuk merevisi kebijakan tarif bea masuk untuk impor biji kakao dan produk olahan kakao. Menurut Piter, kebijakan saat ini menghambat pertumbuhan industri olahan kakao karena pemerintah masih mengenakan bea masuk impor biji kakao sebesar 5 persen, pajak penghasilan (PPh) 2,5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen.
"Kami minta pemerintah merevisi tarif bea masuk tarif impor biji kakao supaya industri olahan berdaya saing. Kami mengusulkan untuk PPN dan bea masuk diturunkan untuk kebutuhan industry setidaknya menjadi 1 persen," ujar Piter, Rabu 4 September 2019.
Produk olahan kakao dalam negeri semakin tidak bersaing karena negara kompetitor, seperti di Malaysia dan Singapura, yang tidak menerapkan bea masuk impor biji kakao. Besarnya bea masuk impor biji kakao ini justru berkebalikan dengan kebijakan bea masuk impor produk olahan kakao sebesar nol persen setelah adanya perjanjian dagang Asean Free Trade Area (AFTA). Hal ini berdampak pada kenaikan impor produk olahan kakao yang mencapai 271.775 ton atau naik 25 persen pada 2018 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Sangat disayangkan karena lahan Indonesia sangat cocok ditanami kakao. Kalau produktivitas tidak ditingkatkan, industri yang sudah ada saat ini akan direlokasi ke negara yang memiliki bahan baku mencukupi,” ujar Piter.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Dwi Atmoko Setiono menuturkan dari 20 industri kakao yang ada, saat ini hanya 11 unit yang beroperasi. Pada saat ini, kata Dwi, industri pengolahan kakao nasional memang berkembang pesat dengan kapasitas 747 ribu ton. Namun, kapasitas terpakai atau utilisasinya hanya 59 perse. Hal ini dikarenakan produksi kakao nasional menurun. "Industri kekurangan bagan baku baji kakao, akibatnya impor biji kakao meningkat," ujar Dwi.
Produktivitas tanaman kakao yang masih rendah masih jauh di bawah rata-rata potensi sebesar 2 ribu kilogram per hektare per tahun. Dwi menuturkan rendahnya produktivitas dan produksi kakao disebabkan oleh sebagian tanaman yang sudah tua atau tidak produktif, serangan hama penyakit utamanya PBK dan VSD, kurang pemeliharaan oleh petani dan perubahan iklim serta degradasi kesuburan tanah. "Perlu ada upaya percepatan peningatan produksi melalui intensifikasi, rehablitasi, dan peremajaan perkebunan kakao," ujar Dwi.
<!--more-->
Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mogadishu Djati Ertanto mengatakan soal pengenaan bea masuk untuk untuk impor biji kakao sudah lama dibahas oleh pemerintah.
Namun, kata Mogadishu, sampai saat ini belum ada solusi yang tepat soal itu. Hal serupa juga terjadi untuk permintaan kenaikan bea masuk untuk produk olahan kakao karena memerlukan kajian mendalam. Mogadishu menuturkan untuk menaikkan bea masuk produk olahan kakao harus melalui perundingan baru ASEAN Free Trade Area (AFTA). “Harus buka perundingan lagi kalau mau menaikkan tarif bea masuk olahan kakao,” ujar Mogadishu.
Kasubdit Tanaman Penyegar dan Tanaman tahunan dan Penyegar Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus Hudoro menuturkan pemerintah tidak bisa serta merta menurunkan bea masuk biji kakao meskipun tujuannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Hanya saja, kata Bagus, jangan sampai kebijakan itu nantinya bisa menekan harga di tingkat petani. "Kami ingin nantinya usulan itu tetap memperhatikan kepetingan produsen (petani). Kami juga harus memperhatikan supply-demand terjaga," ujar Bagus.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi biji kakao, Bagus menuturkan pemerintah segera menjalankan program BUN 500 atau penyebaran 500 juta batang bibit unggul, termasuk benih kakao. Meski begitu, Bagus belum bisa memastikan porsi benih kakao dalam program BUN 500 tersebut.
Saat ini, Bagus menuturkan kementerian tengah dalam proses identifikasi atau pemetaan hingga persiapan infrastrukturnya. Sementara, lokasi penyebaran benih akan dilakukan di Sulawesi, Sumatera Barat, Aceh, Lampung, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Selatan, "Target kami, tahun depan benih sudah didistribusikan," ujar Bagus.